Mohon tunggu...
Fahad Adzriel
Fahad Adzriel Mohon Tunggu... Mahasiswa Islamic Studies of International Open University (Indonesia) Gambia, Afrika

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Meluruskan Analisis Palsu

18 Oktober 2025   07:10 Diperbarui: 18 Oktober 2025   07:04 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Thumbnail youtube (sumber: Tretan Univers)

Analisis Kritis terhadap Riwayat Lemah dan Kontradiktif

Dalam diskursus keislaman kontemporer, narasi-narasi yang bersumber dari riwayat historis yang lemah dan palsu kerap kali mendapatkan tempat, meskipun bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Dua riwayat populer tentang Ibnu Abbas meminum darah bekam Nabi dan Khalid bin Walid menggunakan rambut Nabi sebagai jimat adalah contoh nyata yang memerlukan analisis kritis, baik dari sisi otentisitas (sanad) maupun substansi (matan).

Pertama, analisis terhadap riwayat Ibnu Abbas meminum darah bekam Nabi. 

Dari perspektif keaslian, riwayat ini dinilai palsu (maudhu’) oleh para ulama ahli hadits. Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, dalam karyanya Fatḥ al-Bārī, secara tegas menyatakan bahwa riwayat ini adalah munkar, yaitu riwayat yang tertolak karena diriwayatkan oleh perawi yang lemah dan bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, n.d.). Lebih lanjut, riwayat ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits kanonik seperti Ṣaḥīḥ al-Bukhārī atau Ṣaḥīḥ Muslim, yang menjadi rujukan utama umat Islam. Dari sisi substansi, riwayat ini bertentangan dengan prinsip dasar hukum Islam. Al-Qur’an secara eksplisit menyatakan darah sebagai zat yang najis (Q.S. al-An‘ām: 145). Oleh karena itu, tindakan meminum darah yang notabene adalah najis adalah sebuah kemustahilan yang dilakukan oleh seorang sahabat sekaliber Ibnu Abbas, yang dikenal sebagai ahli tafsir dan fiqih. Di sisi lain, terdapat riwayat sahih yang justru memerintahkan untuk membuang atau mengubur darah bekam (Al-Daraquṭnī, n.d.), yang semakin mengukuhkan ketidakabsahan riwayat palsu ini.

Kedua, mengenai riwayat Khalid bin Walid dan “jimat” rambut Nabi. 

Riwayat ini, yang sering dikutip untuk membenarkan praktik tertentu, memiliki rantai periwayatan (sanad) yang lemah (ḍa‘īf jiddan). Riwayat ini bersumber dari Ṣalt bin Dinar, yang statusnya sebagai perawi dinilai lemah oleh para kritikus hadits seperti Imam Aḥmad bin Ḥanbal dan al-Nasā’ī (Al-Dhahabī, n.d.). Konsekuensinya, riwayat ini tidak memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan suatu keyakinan atau amalan. Secara substansial, narasi ini berpotensi mengaburkan batas antara praktik mencari berkah (tabarruk) yang sahih dan kesyirikan. Dalam Islam, tabarruk yang benar adalah mencari keberkahan dari Allah semata, dengan perantaraan objek atau tempat yang diberkahi-Nya, dengan keyakinan bahwa sumber segala manfaat dan mudarat hanyalah Allah. Sementara itu, jimat (ṭamīmah) didefinisikan sebagai benda yang diyakini memiliki kekuatan intrinsik untuk mendatangkan manfaat atau menolak mudarat, sebuah keyakinan yang secara tegas dinyatakan sebagai syirik oleh Nabi Muhammad (Aḥmad ibn Ḥanbal, n.d.). Oleh karena itu, meskipun riwayat ini diandai-andai sahih (padahal tidak) narasi yang dibawanya tetap berisiko mendorong pada keyakinan syirik, terlepas dari niat awalnya.

Kesimpulan

kedua riwayat ini gagal memenuhi standar otentisitas ilmiah dalam ilmu hadits dan mengandung kontradiksi substansial dengan prinsip dasar akidah dan syariat Islam. Umat Islam perlu bersikap kritis dan selektif dalam menerima suatu riwayat, dengan merujuk pada otoritas keilmuan yang diakui dan kitab-kitab hadits yang terverifikasi. Setidaknya bagi orang awam mencari kebenaran dari sebuah hadits bisa saja dengan bertanya ke AI dalam konteks  paling minimal untuk mencari sebuah kebenaran, dan tentu diperlukan verifikasi lebih lanjut kepada orang yang lebih faham akan ilmu tertentu, misal  ahli hadits, ahli fiqih dan sejenisnya.Opini ini kami tulis murni untuk meluruskan apa yang seharusnya tanpa menyalahkan pihak manapun karena manusia tidak luput dari kesalahan. Menolak riwayat yang palsu dan lemah bukanlah bentuk kurang cinta, tetapi justru merupakan bentuk komitmen untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dari distorsi dan penyimpangan yang dapat merusak akidah.

Daftar Referensi

Aḥmad ibn Ḥanbal. (n.d.). Musnad al-Imām Aḥmad ibn Ḥanbal. Hadith no. 16969.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun