Lihat ke Halaman Asli

Tegar dalam Badai

Diperbarui: 14 Juni 2025   23:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

fhoto ilustrasi wanita muslimah_tegar

Angin sore menyapu sawah-sawah yang mulai menguning. Di bawah langit kelabu yang menggantung, Sari berdiri mematung di depan rumah panggung sederhana, memandangi jalan tanah yang perlahan mulai becek karena rintik hujan yang turun.

"Mak, kenapa belum masuk?" tanya Wina, putri sulungnya yang baru duduk di bangku kelas delapan.

Sari hanya tersenyum, lemah tapi cukup untuk menenangkan anaknya. Ia tahu, wajahnya belakangan ini lebih sering muram dibanding ceria. Hujan tak hanya turun dari langit, tapi juga dari dalam dirinya. Hujan rasa lelah, cemas, dan luka yang tak selesai-selesai.

Tiga bulan sudah suaminya tak pulang dari kota. Awalnya ia pamit hanya untuk kerja proyek dua minggu di luar daerah. Tapi setelah itu, hanya kabar tak jelas yang datang. Telepon tak pernah diangkat. Nomor terakhir pun kini sudah tak aktif.

Warga desa mulai berbisik. Ada yang bilang suaminya pergi dengan perempuan lain, ada yang bilang kena tipu proyek fiktif dan malu pulang. Tapi Sari memilih diam. Ia tak punya waktu menanggapi semua itu. Yang ia tahu, sejak kepergian itu, ia harus jadi matahari di pagi hari dan lentera di malam hari, untuk tiga anak yang masih butuh peluk dan nasi.

Sari bangun lebih awal dari ayam. Ia menanak nasi, menyiapkan sarapan, menyapu halaman, lalu bersiap membawa kue-kue jualannya ke pasar. Sebelum pukul enam pagi, ia sudah memikul keranjang berisi lemper, kue talam, dan apem kukus. Semua buatan tangannya sendiri, dengan bahan seadanya, namun selalu ia selipkan cinta dan harapan agar laris.

Di pasar, Sari bukan satu-satunya penjual kue. Tapi wajahnya yang ramah dan sikapnya yang sabar membuat pelanggan tetap berdatangan. Ia tak pernah marah jika ditawar, tak pernah mengeluh meski kue sisa.

"Sari, kamu nggak capek? Lihat tuh badanmu mulai kurus," tanya Mbok Nah, penjual sayur yang stan-nya tak jauh.

"Capek, Mbok. Tapi kalau saya berhenti, siapa yang kasih makan anak-anak saya?"

Jawaban itu sederhana, tapi menampar banyak orang yang mendengarnya. Termasuk seorang guru SMA yang pagi itu sedang lewat dan membeli lemper buat sarapan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline