Lihat ke Halaman Asli

Media Hantu Menguji Toleransi Kita

Diperbarui: 18 Agustus 2016   02:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

                                                                                    

Sudah lama Nusantara yang berganti jadi Indonesia adalah bangsa yang ramah, pekerja keras, dan saling menghargai. Namun dengan mengalirnya agama-agama dari bangsa lain, atas nama Allah atas nama Tuhan atas nama Dewa atas nama Yang Maha Kuasa versi agamanya, mereka berhak mengenalkan agamanya. Lalu Indonesia menjadi penuh umat beragama, namun seiring kemajuan zaman, identitas-identitas agamais harus diuji kembali. Kita yang cinta damai harus ikut prihatin setiap ada kericuhan di Indonesia, agama selalu menjadi menu yang dihembuskan berhari-hari dengan banyak versi.Apakah keramahan bangsa Indonesia dalam kenyataan masa kini akan tertutupi oleh kuatnya agama dalam membungkam HAK kita dalam kemerdekaan dan keramahan selama ini, dengan mengedepankan budaya kekerasan atas nama agamanya?

Dalam semua sejarahnya, kehadiran agama (Agama apa saja), selalu ditentang oleh umat yang tidak memeluk agama tersebut, bahkan sering terjadi bentrokan disertai pembunuhan. Dan ketika agama tersebut menjadi besar serta umatnya bertambah, mereka pun melakukan pengulangan sejarah kembali, menyerang mereka yang menghadirkan keyakinan baru, ritual baru, atau bahkan "nabi" baru.

Mereka menganggap agamanya paling sempurna, paling benar, dan paling direstui Allah. Padahal sudah jelas ditulis di kitab-kitab suci mereka sendiri, Allah  hanya menciptakan manusia yang paling sempurna, bukan agama yang sempurna!

Cinta Agama

Agama bak wanita cantik nan seksi, dan seorang lelaki jatuh cinta ingin memilikinya bahkan menguasainya, bila ada yang memandang atau bahkan menyenggolnya, dianggap menghina, maka orang tersebut layak dimusuhi. Mereka hanya boleh memujinya saja. Katanya, "Agama kami mengatasi segala masalah!"

Memeluk agama itu seperti cinta pertama, berjuta rasanya, mampu membuat mabok berat tanpa perlu minum miras atau narkoba. Bila agamanya disinggung, keluarlah luapan emosinya bak semburan lumpur Lapindo menggerus indera dan rapat membungkus rasio umatnya.

Apakah karena secara psikologis masing-masing umat beragama di masyarakat kita ini jarang berinteraksi dengan toleran dan bijaksana?

Kekuasaan politik dan sumber daya ekonomi menjadi akar permasalahan karena yang terjadi tidak dialokasikan secara merata, timbullah kecurigaan-kecurigaan yang akan selalu mengancam keutuhan kekeluargaan berbangsa ini. Akibatnya apa Bro, masyarakat dengan sangat mudah mengidenttifikasikan dengan segala bertentangan berbau SARA. Begitulah bangsa kita belum benar-benar mengintegrasikan diri secara psikologis. Secara fisik kita bertetangga dengan orang yang berbeda agama dan suku bangsa, tetapi setiap hari kita selalu was-was dengan tingkah lakunya, walau sang tetangga tidak melakukan aktivitas yang membahayakan kita.

damai-2-57b4b2c0c122bdee1fa1cba0.jpg

                                                                                       
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline