Mohon tunggu...
Amos Ursia
Amos Ursia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Elite Pelajar dan Kuli

31 Mei 2018   10:09 Diperbarui: 31 Mei 2018   10:22 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Hei! Siapa tadi yang ngomong anjing! Itu bahasa kuli kau gunakan di Sekolah!"

"Hei! Diam kalian! Ini sekolah bukan pasar!"

"Hei! Cara duduk mu kaya tukang becak! Ini sekolah bukan warung kopi!"

Ungkapan ungkapan itu sering kita alami yang berasal dari para guru, kadang kita tidak menyadari hal yang kecil namun penting ini.

Saya dulu sering kena amuk guru karena cara ngomonglah, cara duduklah, cara menataplah.

Saya memang dari SD sampai SMA termasuk anak "setengah rajin setengah bego" saya lebih memilih membaca buku yang disuka daripada menyelesaikan soal fisika atau matematika, dan saya bukan orang yang suka diatur-atur. 

Pertanyaan saya "Mengapa simbolisasi yang harus dipakai adalah kuli, tukang becak, warung kopi, atau pasar? Apa golongan itu adalah lambang bagi moral yang buruk? Mengapa harus mereka?"

Selalu ada dikotomi yang menarik dikaji dalam budaya intelegensia di Indonesia, semacam keterpisahan antar kelas, yaitu kelas wong cilik (Kuli, tani, tukang becak,dll) dan kelas intelegensia. 

Bentuk bentuk penggambaran kelas wong cilik ini selalu kita jumpai dalam tradisi yang bahkan kita tidak sadari, entah itu penggambaran kelas untuk supir angkot, tukang becak, pasar, warung kopi, kuli, dll. 

Kaum intelegensia selalu memunculkan perbedaan ini, bahwa tradisi kaum terpelajar adalah tradisi yang berbudaya, sedangkan tradisi kelas sosial bawahan adalah tradisi immoral dan tidak berbudaya, berikutnya akan ada tinjuan historis yang menarik terhadap tradisi ini

"Peradaban yang mendesak masuk yang lika likunya telah dipelajari intelegensia Jawa tentu saja adalah versi Belanda tentang barat." (Clifford Geertz)

Intelegensia di Indonesia bisa kita lihat dari zaman kerajaan nusantara, tapi karena konteks singgungan dengan pendidikan barat, maka golongan intelegensia Jawa relevan.

Priyayi dapat kita jadikan semacam representasi dari dua sisi, yaitu peradaban Jawa dan peradaban barat. Peradaban Jawa dalam hal filsafat, moral, dan aksiologi yang bersinggungan dengan pendidikan (kerah putih) barat (walaupun tidak komperhensif, tetapi setidaknya akan ada singgungan walaupun dengan nilai pragmatik barat).

Menurut Clifford Geertz, tidaklah sulit menemukan elemen borjuis kecil dalam intelegensia Jawa. Priyayi tingkat menengah serta atas cenderung berbahasa belanda dan bukan bahasa jawa, mereka yang lebih tinggi bahkan pada suatu titik lupa terhadap bahasa Jawa, kecuali untuk menyuruh pembantu nya dengan bahasa Jawa rendahan. 

Kita akan mudah menemukan permainan tenis, catur, renang, novel dan majalah berbahasa Belanda, perempuan yang menyulam, bahkan seni lukis sketsa yang tidak akan kita temui dalam kehidupan masyarakat umum. Stigma "jorok", "jijik" serta "malas" sangat terikat dengan wong cilik dalam perspektif intelegensia Jawa.

Dengan tambahan keuntungan politik etis dan relasi politik dengan birokrat Belanda, maka muncul model aristokrasi Jawa yang dipengaruhi Barat. Sehingga ada jurang yang sangat dalam antara kaum Intelegensia dengan para wong cilik.

Pada masa itu juga sangat rancu jika kita mendobrak sistem budaya moral seperti yang tergambar dalam "Hikayat Kadiroen" nya Semaoen dan "Studennt Hidjo" nya Mas Marco, dan apa yang Ki Hadjar Dewantara putuskan untuk menjadi "individu tanpa strata" adalah sebuah keputusan yang sangat kontras dengan latar kultur nya.

Itulah sedikit gambaran penyakit intelegensia yang juga masih terlihat gejala gejala nya pada masa ini,untuk menjadi bangsa yang besar kita harus menghancurkan tradisi diskriminatif yang sangat usang ini.

Kita membutuhkan intelegensi seperti Ki Hadjar Dewantara dan Mas marco, yang tidak menganggap dirinya eksklusif.

"Apakah gunanya seseorang belajar filsafat, sastra, teknologi, kedokteran, atau apa saja, nbila pada akhirnya ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata 'Di sini aku merasa asing dan sepi!' "

WS Rendra "Seonggok Jagung di Kamar" (1975)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun