Mohon tunggu...
Amos Ursia
Amos Ursia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Elite Pelajar dan Kuli

31 Mei 2018   10:09 Diperbarui: 31 Mei 2018   10:22 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Intelegensia di Indonesia bisa kita lihat dari zaman kerajaan nusantara, tapi karena konteks singgungan dengan pendidikan barat, maka golongan intelegensia Jawa relevan.

Priyayi dapat kita jadikan semacam representasi dari dua sisi, yaitu peradaban Jawa dan peradaban barat. Peradaban Jawa dalam hal filsafat, moral, dan aksiologi yang bersinggungan dengan pendidikan (kerah putih) barat (walaupun tidak komperhensif, tetapi setidaknya akan ada singgungan walaupun dengan nilai pragmatik barat).

Menurut Clifford Geertz, tidaklah sulit menemukan elemen borjuis kecil dalam intelegensia Jawa. Priyayi tingkat menengah serta atas cenderung berbahasa belanda dan bukan bahasa jawa, mereka yang lebih tinggi bahkan pada suatu titik lupa terhadap bahasa Jawa, kecuali untuk menyuruh pembantu nya dengan bahasa Jawa rendahan. 

Kita akan mudah menemukan permainan tenis, catur, renang, novel dan majalah berbahasa Belanda, perempuan yang menyulam, bahkan seni lukis sketsa yang tidak akan kita temui dalam kehidupan masyarakat umum. Stigma "jorok", "jijik" serta "malas" sangat terikat dengan wong cilik dalam perspektif intelegensia Jawa.

Dengan tambahan keuntungan politik etis dan relasi politik dengan birokrat Belanda, maka muncul model aristokrasi Jawa yang dipengaruhi Barat. Sehingga ada jurang yang sangat dalam antara kaum Intelegensia dengan para wong cilik.

Pada masa itu juga sangat rancu jika kita mendobrak sistem budaya moral seperti yang tergambar dalam "Hikayat Kadiroen" nya Semaoen dan "Studennt Hidjo" nya Mas Marco, dan apa yang Ki Hadjar Dewantara putuskan untuk menjadi "individu tanpa strata" adalah sebuah keputusan yang sangat kontras dengan latar kultur nya.

Itulah sedikit gambaran penyakit intelegensia yang juga masih terlihat gejala gejala nya pada masa ini,untuk menjadi bangsa yang besar kita harus menghancurkan tradisi diskriminatif yang sangat usang ini.

Kita membutuhkan intelegensi seperti Ki Hadjar Dewantara dan Mas marco, yang tidak menganggap dirinya eksklusif.

"Apakah gunanya seseorang belajar filsafat, sastra, teknologi, kedokteran, atau apa saja, nbila pada akhirnya ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata 'Di sini aku merasa asing dan sepi!' "

WS Rendra "Seonggok Jagung di Kamar" (1975)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun