Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menyikapi Pemilu 2019, Mari Berpedoman pada UU Pemilu

20 April 2019   20:37 Diperbarui: 21 April 2019   07:36 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil dari APKTurbo

Pesta Demokrasi atau Pemilu tahun 2019 telah berlalu, namun keriuhan, kehebohan hingga keributan tak juga kunjung berhenti. Ada yang benar-benar bergembira layaknya habis berpesta. Juga yang terus marah-marah seperti mengalami tekanan batin hidupnya.

Apapun informasi terkait Pemilu utamanya Pilpres selalu menimbulkan pro dan kontra. Hal ini terutama karena persepsi yang berbeda-beda hingga mau seenaknya sendiri saja. Padahal jika semuanya mau kembali pada standard yang ada, tentu saja tidak perlu ada keributan yang tidak perlu bahkan pernyataan atau tindakan yang memalukan. Standard yang harus jadi acuan adalah Undang-Undang No.17 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Quick Count (QC) atau Hitung Cepat adalah bagian dari bentuk partisipasi masyarakat yang dijamin oleh UU 17/2017 yaitu Pasal 448. Hal ini juga ditegaskan oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi. Lagipula, hanya Lembaga Survey yang terdaftar di KPU yang boleh melaksanakan dan mengumumkan hasil survey seperti Quick Count. Diluar itu bisa dikatakan ilegal.

Khusus terkait Lembaga Survey, maka harus bersedia diaudit dengan membuka metode, petugasnya, pengambilan data hingga data-data terkait survey (QC) yang dilakukannya. Jika tidak sesuai standard maka mendapatkan sanksi tegas. Selain itu, sangat mungkin menjadi permasalahan hukum jika ternyata telah melakukan kebohongan ataupun rekayasa.

Terlepas apapun hasil dari  QC, jelas dan pasti tidak mempunyai ketetapan hukum karena bukan hasil resmi KPU. Namun demikian, tentu saja tidak bisa diabaikan jika dalam sejarahnya QC telah terbukti relatif akurat seperti hasil Real Count KPU. 

Hal ini telah terbukti sejak tahun 2004 dimana QC pertama kali dilakukan. Hasil QC pun selalu diterima dan diakui masyarakat secara luas. Hasil QC terakhir yang menjadi berita besar adalah pada Pilgub Jakarta tahun 2017 yang memenangkan Anis Baswedan-Sandiaga Uno, yang juga menunjukkan keakuratannya baik di Tahap I maupunTahap II Pilgub Jakarta.

Bagi yang tidak mau menerima hasil QC juga bukanlah masalah dan tidak melanggar UU Pemilu. Namun jika menuduh Lembaga Survey melakukan kecurangan dalam QC, maka seharusnya bisa menunjukkan bukti-buktinya. Dan bila memiliki bukti-buktinya maka dapat melaporkan ke pihak berwenang atau dilakukan proses hukum. 

Pihak Lembaga Survey pun tetap bisa membela dirinya dari tuduhan curang dan sekaligus bisa menuntut balik jika tuduhan tersebut adalah tidak benar. Jadi, memang sebaiknya diselesaikan melalui proses hukum untuk mendapatkan kepastian.

Sesuai UU Pemilu, KPU diberikan waktu paling lama 35 hari kalender untuk mengumumkan hasil PEMILU. Hal ini tercantum dalam Pasal 413 ayat (1). Oleh karena itu, tidak boleh sembarangan mengatakan atau menuduh bahwa KPU bekerja lambat. Apalagi jika sampai menuduh kelambatan tersebut karena KPU melakukan kecurangan untuk memenangkan pihak tertentu.

Hal tersebut tentu saja adalah tuduhan yang sangat serius yang bisa mendeligitimasi kerja keras KPU. Juga akan mengecilkan pengorbanan berbagai pihak demi terlaksananya PEMILU dengan baik, jujur dan lancar. 

Dan pihak manapun yang melontarkan tuduhan tersebut haruslah benar-benar yakin mempunyai bukti-bukti yang akurat dan bisa diandalkan untuk digunakan dalam proses hukum. Jangan hanya melontarkan tuduhan sporadis yang akan memanaskan situasi di masyarakat. Indonesia adalah negara hukum, karena itu seharusnya semua pihak menggunakan cara yang cerdas dan beradab yaitu melalui jalur hukum.

Kecurangan yang ditemukan oleh pihak manapun dan dilakukan oleh pihak manapun, seharusnya diproses hukum. Bukti-bukti kecurangan tersebut juga bisa menjadi bahan pendukung untuk mengajukan gugatan hasil Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK akan memutuskan berdasarkan UU, apakah gugatan tersebut bisa diterima, dilanjutkan ataukah ditolak. Semua pihak yang bersengketa pun harus menerima apapun keputusan MK.

Mari menjadi warga negara yang berakal sehat dengan ciri-cirinya yaitu tertib dan taat hukum. Termasuk di dalamnya mentaati apa yang ada dalam UU Pemilu. Mari kita dukung (dan juga ikut mengawasi) KPU dalam menjalankan tugasnya sesuai UU. Berbagai tuduhan bahkan fitnah yang tidak disertai bukti-bukti hukum pada KPU, dikhawatirkan akan memperberat tugas KPU khususnya secara mental/moral.

Bagi semua pihak yang mau melawan kecurangan, maka sebaiknya ikut aktif membantu mengawasi perhitungan suara mulai dari TPS masing-masing, khususnya terkait data-data pemilihan dalam formulir C1 (termasuk memfotonya). Masyarakat dapat memantau data-data hasil perhitungan PEMILU yang dipublikasikan dalam website KPU dan memberitahukan bila menemukan kesalahan dan bisa membuktikannya.

Masyarakat juga bisa membantu perhitungan dan pengawasan hasil Pemilu di gerakan masyarakat dalam Kawal Pemilu. Dengan melakukan upload foto form C1 di sarana yang digunakan Kawal Pemilu. 

Tapi harap diperhatikan, jangan sampai berani coba-coba menggunakan form C1 yang tidak bisa dipastikan kebenarannya, apalagi jika sengaja atau mengetahui telah diedit/diubah/direkayasa (hoaks). Perbuatan demikian jelas melanggar hukum yang tentu saja bisa diproses hukum sesuai ketentuan yang berlaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun