Mohon tunggu...
Amir Santoso
Amir Santoso Mohon Tunggu... SEO Specialist | SEO Content Writer

Penyuka binatang yang juga gemar memainkan gitar di waktu senggang serta sesekali menikmati kegiatan berkemah bersama teman-teman.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Nepotisme di Indonesia: Pengertian, Sejarah, dan Pengaruhnya

29 Agustus 2024   04:53 Diperbarui: 29 Agustus 2024   06:28 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: commons wikimedia

Nepotisme, praktik memberikan keuntungan kepada keluarga atau kerabat dalam hal posisi atau jabatan, merupakan isu yang selalu relevan dalam diskursus politik dan pemerintahan di banyak negara, termasuk Indonesia. Isu ini semakin menonjol dalam beberapa tahun terakhir, terutama dalam konteks politik nasional. Baru-baru ini, demonstrasi menolak revisi Undang-Undang Pilkada dan tanggapan pemerintah, terutama dari Presiden Joko Widodo, telah memicu perdebatan baru mengenai praktik nepotisme. Artikel ini akan membahas sejarah awal nepotisme, dampaknya terhadap masyarakat Indonesia, dan pengaruh nepotisme dalam struktur sosial dan ekonomi.

Sejarah dan Pengertian Nepotisme

Nepotisme berasal dari kata Latin "nepos" yang berarti "keponakan" atau "keturunan." Pada masa lalu, praktik ini sering terlihat dalam sistem kekuasaan Eropa, di mana pejabat publik memberikan posisi kepada anggota keluarga atau kerabat mereka. Di Indonesia, nepotisme tidak hanya terbatas pada konteks pemerintahan, tetapi juga merambah ke sektor swasta dan lembaga-lembaga lainnya.

Pada era Orde Baru, nepotisme sangat mencolok dengan konsentrasi kekuasaan di tangan keluarga Presiden Soeharto. Meskipun Reformasi 1998 mengklaim sebagai langkah besar menuju transparansi dan akuntabilitas, nepotisme tetap ada dalam berbagai bentuk, terutama dalam politik dan pemerintahan.

Nepotisme dalam Konteks Terkini

Belakangan ini, isu nepotisme kembali mencuat dengan adanya revisi Undang-Undang Pilkada yang dilakukan oleh DPR. Undang-Undang ini, yang sebelumnya dirancang untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pemilihan kepala daerah, kini menghadapi revisi yang dianggap kontroversial. Revisi tersebut mempermudah ketentuan pencalonan bagi putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, yang diharapkan maju dalam Pilkada tingkat provinsi.

1. Revisi UU Pilkada dan Reaksi Presiden Jokowi

Demonstrasi besar-besaran terjadi sebagai bentuk penolakan terhadap revisi UU Pilkada. Banyak pihak menilai bahwa perubahan ini akan merugikan prinsip demokrasi dengan memberikan keuntungan yang tidak proporsional kepada calon tertentu. Presiden Jokowi sendiri menyatakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, di mana demonstrasi merupakan bagian dari proses tersebut. Namun, Jokowi juga menekankan perlunya demonstrasi dilakukan secara damai dan tertib. Meskipun demikian, revisi ini menuai kritik tajam karena dianggap berpotensi menguntungkan putra presiden yang belum genap 30 tahun, menjadikannya memenuhi syarat untuk maju dalam Pilkada.

2. Isu Kampanye dan Memihak

   Pernyataan Jokowi yang memperbolehkan presiden untuk berkampanye dan memihak pada pemilihan umum 2024 menambah ketegangan. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa Jokowi berusaha mempengaruhi hasil pemilihan demi kepentingan keluarga. Dalam konteks ini, praktik nepotisme menjadi perhatian utama karena mengarah pada anggapan bahwa presiden menggunakan posisinya untuk memberikan keuntungan politik kepada anggota keluarga.

3. Demonstrasi dan Pemakzulan

   Demonstrasi yang menuntut pemakzulan Jokowi juga mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap praktik nepotisme. Koalisi Nasional Penyelamat Demokrasi melakukan aksi di depan Gedung DPR/MPR sebagai bentuk protes terhadap apa yang mereka anggap sebagai penyimpangan dari prinsip demokrasi. Demonstrasi ini menekankan ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan sistem politik yang ada.

Dampak Nepotisme Terhadap Masyarakat

Nepotisme berdampak luas pada struktur sosial dan politik. Praktik ini sering kali menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpuasan masyarakat, karena posisi atau kesempatan yang seharusnya didapatkan berdasarkan meritokrasi, sering kali diberikan kepada orang-orang tertentu hanya karena hubungan kekeluargaan. Ini mengarah pada:

  • Kehilangan Kepercayaan Publik: Ketika posisi atau jabatan diberikan berdasarkan hubungan keluarga, masyarakat mungkin merasa bahwa sistem ini tidak adil dan tidak transparan. Hal ini dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah dan politik.
  • Penghambatan Talenta dan Inovasi: Nepotisme dapat menghalangi individu yang lebih berbakat atau berkualitas untuk mendapatkan posisi yang pantas. Ini mengakibatkan kurangnya inovasi dan kemajuan dalam berbagai sektor.
  • Kesenjangan Sosial: Ketidakadilan dalam pemberian posisi dapat memperburuk kesenjangan sosial, di mana kelompok-kelompok tertentu mendapat keuntungan lebih besar sementara yang lain tertinggal.

Pengaruh Nepotisme Terhadap Struktur Sosial dan Ekonomi

Nepotisme tidak hanya mengganggu keadilan dalam alokasi posisi atau kesempatan, tetapi juga memiliki dampak yang mendalam pada struktur sosial dan ekonomi. Berikut adalah beberapa pengaruh tambahan dari praktik nepotisme:

  • Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan: Nepotisme sering kali beriringan dengan korupsi. Ketika posisi strategis diisi oleh kerabat atau keluarga, kemungkinan besar akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Ini dapat memperburuk masalah korupsi, karena keputusan yang diambil mungkin tidak berdasarkan kepentingan umum, melainkan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
  • Demotivasi dan Penurunan Moral: Ketika individu yang lebih berkompeten diabaikan demi kerabat atau kenalan yang kurang kualifikasi, hal ini dapat menyebabkan demotivasi di kalangan pegawai atau anggota organisasi. Penurunan moral ini berdampak negatif pada produktivitas dan kinerja, karena individu merasa usaha dan kemampuan mereka tidak dihargai.
  • Penghambatan Pembangunan Ekonomi: Dalam konteks bisnis, nepotisme dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Perusahaan yang dipenuhi oleh anggota keluarga atau kerabat sering kali kurang inovatif dan tidak efisien, karena keputusan lebih didasarkan pada hubungan pribadi daripada kualifikasi atau merit. Ini dapat mengurangi daya saing dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun