Nepotisme, praktik memberikan keuntungan kepada keluarga atau kerabat dalam hal posisi atau jabatan, merupakan isu yang selalu relevan dalam diskursus politik dan pemerintahan di banyak negara, termasuk Indonesia. Isu ini semakin menonjol dalam beberapa tahun terakhir, terutama dalam konteks politik nasional. Baru-baru ini, demonstrasi menolak revisi Undang-Undang Pilkada dan tanggapan pemerintah, terutama dari Presiden Joko Widodo, telah memicu perdebatan baru mengenai praktik nepotisme. Artikel ini akan membahas sejarah awal nepotisme, dampaknya terhadap masyarakat Indonesia, dan pengaruh nepotisme dalam struktur sosial dan ekonomi.
Sejarah dan Pengertian Nepotisme
Nepotisme berasal dari kata Latin "nepos" yang berarti "keponakan" atau "keturunan." Pada masa lalu, praktik ini sering terlihat dalam sistem kekuasaan Eropa, di mana pejabat publik memberikan posisi kepada anggota keluarga atau kerabat mereka. Di Indonesia, nepotisme tidak hanya terbatas pada konteks pemerintahan, tetapi juga merambah ke sektor swasta dan lembaga-lembaga lainnya.
Pada era Orde Baru, nepotisme sangat mencolok dengan konsentrasi kekuasaan di tangan keluarga Presiden Soeharto. Meskipun Reformasi 1998 mengklaim sebagai langkah besar menuju transparansi dan akuntabilitas, nepotisme tetap ada dalam berbagai bentuk, terutama dalam politik dan pemerintahan.
Nepotisme dalam Konteks Terkini
Belakangan ini, isu nepotisme kembali mencuat dengan adanya revisi Undang-Undang Pilkada yang dilakukan oleh DPR. Undang-Undang ini, yang sebelumnya dirancang untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pemilihan kepala daerah, kini menghadapi revisi yang dianggap kontroversial. Revisi tersebut mempermudah ketentuan pencalonan bagi putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, yang diharapkan maju dalam Pilkada tingkat provinsi.
1. Revisi UU Pilkada dan Reaksi Presiden Jokowi
Demonstrasi besar-besaran terjadi sebagai bentuk penolakan terhadap revisi UU Pilkada. Banyak pihak menilai bahwa perubahan ini akan merugikan prinsip demokrasi dengan memberikan keuntungan yang tidak proporsional kepada calon tertentu. Presiden Jokowi sendiri menyatakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, di mana demonstrasi merupakan bagian dari proses tersebut. Namun, Jokowi juga menekankan perlunya demonstrasi dilakukan secara damai dan tertib. Meskipun demikian, revisi ini menuai kritik tajam karena dianggap berpotensi menguntungkan putra presiden yang belum genap 30 tahun, menjadikannya memenuhi syarat untuk maju dalam Pilkada.
2. Isu Kampanye dan Memihak
  Pernyataan Jokowi yang memperbolehkan presiden untuk berkampanye dan memihak pada pemilihan umum 2024 menambah ketegangan. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa Jokowi berusaha mempengaruhi hasil pemilihan demi kepentingan keluarga. Dalam konteks ini, praktik nepotisme menjadi perhatian utama karena mengarah pada anggapan bahwa presiden menggunakan posisinya untuk memberikan keuntungan politik kepada anggota keluarga.
3. Demonstrasi dan Pemakzulan