Pena terdiam, merenungkan kata-kata itu. Selama ini, ia hanya fokus pada fungsinya yang singkat---mengalirkan tinta---bukan pada hasilnya.
"Tapi, bukankah kau juga bisa penuh oleh cetakan mesin? Oleh keyboard yang modern?" ujar Pena, sedikit getir.
"Bisa, tentu saja," jawab Buku. "Tetapi goresan darimu itu personal. Ada getaran tangan, ada jeda napas, ada tetesan keringat di setiap huruf yang kau buat. Itu adalah jejak manusia. Mesin hanya menghasilkan kata, tapi kau menghasilkan perasaan yang tertuang."
Sebuah kehangatan seolah menjalar ke ujung runcing Pena. Ia merasa dirinya kini lebih dari sekadar alat tulis.
"Jadi... kita ini pasangan?" tanya Pena, kini penuh harap.
Buku mengangguk. "Tentu saja. Kita adalah dua sisi dari penciptaan. Aku wadah yang sabar, dan kau api yang memulai. Tanpa salah satu dari kita, cerita hanya akan selamanya menjadi bayangan di dalam benak."
Tepat pada saat itu, pintu terbuka. Cahaya lampu kamar menyinari meja, dan sesosok tangan meraih Pena.
Pena mendesis pelan, "Dia datang!"
Buku hanya tersenyum dengan sampulnya yang kaku. "Pergilah, Pena. Ukir aku. Hidupkan aku lagi."
Pena diletakkan di atas salah satu halaman kosong Buku. Ujungnya menempel, siap menari. Di antara hening, kini bukan hanya decitan lantai yang terdengar, melainkan suara gesekan pelan, ritmis, dari ujung pena yang mulai menari, melahirkan kata-kata baru, mengikatkan takdir mereka sekali lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI