Angin sore berbisik pelan, mengibaskan tirai jendela di sebuah ruangan penuh buku. Di atas meja kayu, sehelai Buku bersampul lusuh, yang usianya mungkin lebih tua dari pemiliknya, terbaring diam. Tak jauh darinya, sebuah Pena bertinta hitam, dengan ujung yang runcing dan badan ramping, tampak menyendiri.
Hening hanya sesekali dipecah oleh decitan lantai kayu. Tiba-tiba, Buku itu seakan bergetar.
"Selamat sore, Pena," sapa Buku dengan suara berderak, seperti halaman yang dibuka terburu-buru.
Pena terkejut. Ia selalu merasa sedikit minder di dekat sang Buku tua itu. "Ah, selamat sore kembali, Buku. Kau... sudah bangun dari tidurmu?"
"Aku tidak pernah benar-benar tidur, Pena," jawab Buku, suaranya kini terdengar sedikit bangga. "Aku hanya diam, menunggu."
"Menunggu apa?" tanya Pena. Ia melompat kecil, mencoba mendekat, tetapi tubuhnya hanya bisa berputar di tempat.
"Menunggu ide. Menunggu cerita baru. Menunggu tangan itu mengambilmu dan mulai mengisi kekosonganku," jelas Buku. Ia memandang Pena dengan tatapan yang seolah melihat jauh ke dalam tinta hitam di dalamnya.
Pena menghela napas, terdengar seperti decitan karet. "Aku iri padamu, Buku. Kau sudah penuh. Kau adalah sebuah dunia. Lihatlah aku, aku hanya alat. Aku hanya bisa membuat goresan, titik, dan koma."
Buku tertawa pelan, tawa yang terdengar seperti gesekan kertas. "Dunia yang kosong tak ada gunanya, Pena. Percayalah, aku tidak akan menjadi 'dunia' ini tanpa dirimu."
"Maksudmu?"
"Kau adalah perwujudan dari suara di kepala pemilik kita," kata Buku lembut. "Setiap coretan yang kau ukir di atasku adalah nafas yang menghidupkanku. Ketika tangan itu memegangmu, kau menjadi jembatan antara pikiran dan kenyataan. Setiap huruf yang kau buat, setiap tanda seru yang kau bubuhkan, mereka adalah jiwaku."