"Apakah kegagalan itu membuatmu merasa seperti sepotong kaca yang pecah?" tanya Senja.
Riza terkejut. Kalimat itu benar-benar menggambarkan perasaannya. "Ya. Rasanya hancur berantakan."
Senja duduk di sebelahnya. "Potongan-potongan itu akan menyatukan diri kembali, Riza. Mungkin tidak persis seperti semula, tapi akan membentuk pola baru yang lebih kuat. Percayalah."
Mereka terdiam, menikmati keindahan senja yang mulai memudar. Riza merasa ada kehangatan yang merambat di hatinya. Ia tak lagi merasa sendiri. Kehadiran Senja, kata-katanya yang menenangkan, dan keindahan bukit ini membuat luka hatinya terasa sedikit terobati.
"Terima kasih," ucap Riza tulus.
Senja menoleh. "Untuk apa?"
"Untuk kata-katamu. Aku tidak tahu kenapa, tapi itu sangat membantuku."
Senja tersenyum. "Kau pantas mendapatkannya. Tapi aku harus pergi sekarang."
Ia beranjak, melambaikan tangan, dan berjalan menjauh. "Sampai jumpa, Riza. Jangan menyerah, ya."
Bayangan Senja memudar seiring dengan menghilangnya cahaya senja. Riza termenung. Ia merasa ada yang aneh. Sejak tadi, Senja tidak pernah menoleh ke arahnya secara langsung. Seolah-olah mata Senja tidak bisa melihat.
Pagi berikutnya, Riza kembali ke bukit itu. Ia berharap bisa bertemu Senja lagi, tapi hanya ada sepi. Ia menghampiri seorang kakek tua yang sedang menyapu.