Suara jarum jam dinding berdetak pelan, memecah kesunyian di ruang tunggu rumah sakit. Di luar, rintik hujan menari di atas aspal basah. Aku duduk di salah satu kursi, menggenggam sebuah buku yang tidak kubaca. Mataku terus melirik ke arah pintu, menunggu seorang perawat keluar dan menyebutkan namaku.
Sudah tiga jam aku di sini. Tiga jam yang terasa seperti selamanya. Tiga jam di mana setiap detik adalah sebuah peperangan antara harapan dan ketakutan. Harapan bahwa ia baik-baik saja, dan ketakutan bahwa ia tidak.
Pandanganku jatuh pada sebuah jendela besar di sudut ruangan. Jendela itu menghadap ke taman rumah sakit, yang kini terlihat samar-samar di balik tirai hujan. Sejenak, aku teringat pada hari itu, di taman yang sama.
"Lihat, Langit! Burung-burung itu lucu, ya?" kataku, menunjuk seekor burung pipit yang sedang mematuk remah roti.
Ia tersenyum, senyum yang selalu bisa membuat hatiku tenang. "Ya, mereka lucu. Tapi bagiku, kamu lebih lucu."
Pipiku merona. "Ih, gombal!"
"Ini bukan gombal, Asmara. Ini fakta."
Aku terkekeh. "Fakta apaan? Fakta bahwa kamu lagi berusaha bikin aku malu?"
Ia hanya tertawa, tawa yang sangat kurindukan.
Kembali ke ruang tunggu. Kenangan itu terasa begitu nyata, begitu dekat, seolah-olah ia masih di sini, duduk di sampingku. Aku memejamkan mata, berusaha mengusir air mata yang mendesak keluar.