Angin sore berhembus pelan, menerbangkan beberapa helai rambut panjang Kirana yang sedang duduk di bangku taman. Di pangkuannya, tergeletak sebuah amplop usang berwarna krem. Surat itu baru saja tiba, dan aroma kertasnya yang khas selalu mengingatkannya pada Ardi, kekasihnya yang sudah dua tahun merantau di kota seberang.
Kirana membuka lipatan kertas itu dengan hati-hati. Tulisan tangan Ardi yang rapi dan tegas langsung menyambutnya.
Kirana tersayang,
Bagaimana kabarmu di sana? Apa senja di taman kota masih semerah dulu? Di sini, senja hanya berwarna abu-abu, dipenuhi gedung-gedung tinggi yang mencakar langit. Aku rindu. Rindu melihat matamu yang berkilau saat matahari tenggelam.
Sebuah senyum kecil merekah di bibir Kirana. Hatinya menghangat. Ia membayangkan Ardi, yang kini pasti sedang sibuk dengan pekerjaannya, menyempatkan waktu untuk menulis surat ini.
"Kirana?" Sebuah suara lembut membuyarkan lamunan Kirana. Itu adalah Ibu Rini, tetangga yang sering berbagi teh bersamanya.
"Oh, Ibu Rini. Iya, ini surat dari Ardi," jawab Kirana, menunjukkan amplop itu.
Ibu Rini tersenyum penuh pengertian. "Jarak memang bisa memisahkan raga, tapi tidak dengan hati, Nak. Cinta kalian tulus, Ibu yakin itu."
Kirana mengangguk. "Aku hanya khawatir, Bu. Apakah ia baik-baik saja di sana? Apa ia masih mengingatku setiap hari seperti aku mengingatnya?"
"Tentu saja. Kalau tidak, mengapa ia masih rajin mengirimimu surat? Dulu, suami Ibu juga sering merantau. Kami hanya bisa bertukar kabar lewat surat. Kadang, ada surat yang datang telat. Kadang ada yang hilang. Tapi, setiap kali surat itu tiba, rasanya seperti ia ada di sampingku."