Aroma lembap tanah basah menusuk indra penciuman Rehan. Ranting-ranting kering berderak di bawah langkah kakinya yang berat. Matahari sudah lama tenggelam, digantikan rembulan pucat yang menembus celah pepohonan rindang. Rehan tahu ia sudah tersesat. Seharusnya ia sudah tiba di desa tetangga satu jam yang lalu. Namun, sejak ia memutuskan mengambil jalan pintas melalui Hutan Larangan, ia tak kunjung menemukan jalan keluar.
"Sial," gumamnya, mengusap peluh dingin di kening. "Kenapa aku harus sok berani, sih?"
Tiba-tiba, suara tawa anak kecil memecah kesunyian. Tawa itu terdengar riang, namun entah mengapa bulu kuduk Rehan meremang. Ia menoleh ke segala arah, tapi tak ada siapapun. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya halusinasi akibat kelelahan.
"Halo?" sapanya ragu. "Ada orang di sana?"
Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang mencekam. Namun, saat ia melangkah lagi, suara tawa itu kembali terdengar, kali ini lebih dekat, seolah-olah berada tepat di belakangnya. Rehan membalikkan badan dengan cepat. Sebuah bayangan hitam melesat di antara pohon-pohon. Jantungnya berdebar kencang. Ia mencoba berlari, tapi kakinya terasa berat, seperti terikat.
"Ayo main, Kak!" suara seorang anak kecil terdengar, suaranya melengking.
Rehan berhenti. Di depannya, berdiri seorang anak perempuan dengan gaun putih kusam. Wajahnya pucat pasi, matanya hitam cekung, dan senyumnya... senyumnya terukir sangat lebar hingga mencapai telinga. Rehan mundur selangkah, napasnya tercekat.
"Kamu siapa?" bisik Rehan.
Anak perempuan itu tidak menjawab. Ia hanya mengulurkan tangannya yang kurus.
"Ayo kita main petak umpet," ujarnya dengan suara yang serak. "Aku hitung sampai sepuluh, ya."
Rehan tidak menunggu lagi. Ia membalikkan badan dan lari sekuat tenaga, tanpa arah. Ia mengabaikan ranting-ranting yang menggores wajah dan lengannya. Ia hanya ingin keluar dari hutan terkutuk ini. Di belakangnya, ia bisa mendengar suara anak perempuan itu menghitung.
"Satu..."
"Dua..."
Suara hitungan itu terdengar semakin dekat. Rehan terperosok ke dalam lubang. Kakinya terkilir, rasa sakit menjalari seluruh tubuhnya. Ia mencoba bangkit, tapi kakinya tak mampu menopang.
"Tujuh..."
"Delapan..."
Langkah kaki terdengar mendekat. Rehan melihat ke atas. Anak perempuan itu kini berdiri di tepi lubang, menatapnya dengan senyum lebar yang mengerikan.
"Sembilan..."
"Sepuluh..."
Rehan menjerit. Jeritan yang tak terdengar. Suaranya seolah ditelan kegelapan pekat. Tangan pucat itu terulur, meraih pergelangan tangannya. Ia merasakan dingin yang menusuk hingga ke tulang. Tangan itu menariknya perlahan, menyeretnya ke dalam kegelapan lubang yang tak berdasar.
"Ketemu," bisik suara itu di telinganya.
Seketika, kegelapan menelan segalanya. Rehan hanya bisa pasrah, menyambut kengerian yang entah apa yang akan terjadi selanjutnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI