Raka menatap layar laptopnya dengan nanar. Barisan kode yang seharusnya melaju mulus, kini diam membeku, dipenuhi tanda seru merah yang berkedip-kedip, seolah menertawakannya. Program "Smart-Scheduler" andalannya, yang digadang-gadang akan memenangkan kompetisi ilmiah, mengalami eror fatal. Ia mencoba berbagai cara, melacak, dan bahkan meminta bantuan AI lain, namun hasilnya nihil.
Dulu, Raka adalah mahasiswa yang cerdas, tapi malas. Ia menemukan jalan pintas di dunia AI. Untuk tugas-tugas sulit, ia hanya perlu mengetikkan beberapa perintah, dan voila! Kode yang sempurna akan tercipta. Tentu, ia selalu memeriksanya, tapi hanya sekilas. Toh, AI tidak pernah salah.
"Mungkin ini hanya eror biasa," gumamnya, mencoba meyakinkan diri. Ia kembali menyalin kode, menempelkannya di jendela percakapan AI, dan bertanya, "Kenapa kode ini eror?"
AI menjawab dengan cepat, memberikan analisis yang rumit. Raka membacanya, namun tak ada satu pun kata yang benar-benar ia pahami. Ia hanya bisa mengangguk-angguk kosong. Ia bahkan tak tahu cara mengecek variabel yang dimaksud AI. Panik mulai merayap. Tenggat waktu kompetisi hanya tinggal dua hari lagi.
Raka mengambil ponselnya dan menelepon Bima, sahabatnya. "Bim, gawat! Programku eror fatal. Semua cara udah kucoba, tapi nggak bisa."
Terdengar suara Bima dari seberang, "Lah, bukannya kamu pakai AI? Masa AI bisa salah?"
"Iya, itu masalahnya! AI juga bingung. Kayaknya ini eror dasar, yang cuma bisa dipecahin sama manusia," jawab Raka frustrasi. "Aku bingung harus mulai dari mana. Pengetahuanku cetek banget."
Malam itu, Raka tidak bisa tidur. Ia teringat kata-kata dosennya, Pak Budi, yang selalu menekankan pentingnya "memahami dasar, bukan hanya hasil." Kata-kata itu dulu ia anggap kuno, tak relevan di era serba otomatis. Namun, kini ia merasakan betapa benarnya ucapan itu. Selama ini, ia hanya menjadi operator, bukan pencipta. Ia tahu cara menggunakan alat, tapi tak tahu cara memperbaikinya saat alat itu rusak.
Dengan sisa keberanian, Raka membuka kembali programnya. Ia mulai dari nol. Ia hapus semua kode hasil AI dan mulai mengetik baris demi baris, seperti saat ia pertama kali belajar dulu. Ia teringat tutorial yang dulu ia lewatkan, buku-buku tebal yang ia jadikan bantalan tidur. Ia bahkan membuka kembali catatannya yang berdebu.
Satu jam, dua jam, tiga jam. Matanya mulai perih. Keringat membasahi keningnya. Namun, kali ini, ia tak merasa kosong. Ia mulai mengenali setiap variabel, setiap fungsi, dan setiap alur program. Ia mulai berpikir, "Apa yang akan terjadi jika aku mengubah ini?" bukan lagi "Apa yang harus aku salin?".
Tengah malam, ia akhirnya menemukan masalahnya. Bukan pada kode AI, melainkan pada logika dasar yang ia buat sendiri saat merancang program tersebut. Kesalahan kecil yang tersembunyi, yang tak bisa dideteksi oleh AI karena ia sendiri tidak memberikan informasi yang tepat.
Raka tersenyum lega. Ia tidak membutuhkan AI untuk memecahkan masalah ini. Yang ia butuhkan hanyalah dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa AI adalah alat yang luar biasa, namun ia bukanlah tongkat sihir yang bisa mengubah kemalasan menjadi kecerdasan.
Keesokan harinya, Raka berhasil memperbaiki programnya. Meskipun ia tidak memenangkan kompetisi, ia mendapat sesuatu yang jauh lebih berharga: sebuah pelajaran. Ia menyadari bahwa ketergantungan pada teknologi tanpa pemahaman dasar akan membuat kita rentan. Dan di dunia yang terus berubah ini, hanya pemahaman yang kuat yang bisa membuat kita bertahan. Raka kini tahu, kode yang mati, bisa dihidupkan kembali, asalkan kita mau belajar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI