Mohon tunggu...
Zaly
Zaly Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seseorang yang gemar menulis cerpen dan karya lainnya. bisa kunjungi akun instagram untuk lebih lanjut !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumah Kayu di Tepi Sungai

14 Agustus 2025   07:28 Diperbarui: 14 Agustus 2025   07:28 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara jangkrik adalah satu-satunya melodi di malam itu. Di teras rumah kayu yang sudah menua, Pak Budi duduk termenung. Matanya menatap kosong ke arah sungai yang mengalir tenang. Airnya memantulkan cahaya rembulan yang samar, seperti cermin yang menyimpan ribuan cerita. Rumah itu adalah saksi bisu dari semua cerita itu. Dari tawa riang istrinya, Bu Sari, saat pertama kali pindah ke sana, hingga tangisan pilu saat ia pergi.

"Sudah malam, Bapak belum tidur?" Suara lembut Sarah, anak semata wayangnya, memecah keheningan. Ia membawa secangkir teh hangat dan menyerahkannya kepada Pak Budi.

"Ini teh jahe kesukaan Bapak. Seperti yang Ibu sering buatkan."

Baca juga: Guru di Ujung Jari

Pak Budi tersenyum tipis. "Terima kasih, Nak. Ibu memang tahu, teh jahe bisa menghangatkan sampai ke hati."

Sarah ikut duduk di sampingnya. Mereka berdua terdiam, menikmati alunan simfoni alam yang terasa begitu akrab. "Bapak masih memikirkan Ibu?"

Pak Budi mengangguk pelan. "Setiap hari. Rasanya baru kemarin kita duduk di sini, berjanji untuk tidak pernah meninggalkan rumah ini."

"Janji yang tidak sempat terucap, Bapak."

"Ya, Nak. Janji itu. Ibu pergi terlalu cepat." Pak Budi menarik napas panjang. "Dulu, Ibu pernah bilang, 'Rumah ini seperti kita, Budi. Kayunya boleh tua, catnya boleh memudar, tapi fondasinya harus tetap kuat.' Dan Ibu adalah fondasi rumah ini."

Baca juga: Riuh Pasar Pagi

Sarah menggenggam tangan ayahnya. "Bapak adalah fondasi rumah ini juga. Bapak sudah menjaganya dengan baik. Sama seperti Bapak menjaga kenangan tentang Ibu."

Malam itu, mereka berdua berbagi cerita. Mereka mengenang saat Bu Sari dengan semangat mengecat jendela, memilih tanaman hias, dan menertawakan Pak Budi yang selalu gagal memancing. Setiap cerita adalah sepotong puzzle yang melengkapi gambaran utuh tentang keluarga kecil mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun