Suara jangkrik adalah satu-satunya melodi di malam itu. Di teras rumah kayu yang sudah menua, Pak Budi duduk termenung. Matanya menatap kosong ke arah sungai yang mengalir tenang. Airnya memantulkan cahaya rembulan yang samar, seperti cermin yang menyimpan ribuan cerita. Rumah itu adalah saksi bisu dari semua cerita itu. Dari tawa riang istrinya, Bu Sari, saat pertama kali pindah ke sana, hingga tangisan pilu saat ia pergi.
"Sudah malam, Bapak belum tidur?" Suara lembut Sarah, anak semata wayangnya, memecah keheningan. Ia membawa secangkir teh hangat dan menyerahkannya kepada Pak Budi.
"Ini teh jahe kesukaan Bapak. Seperti yang Ibu sering buatkan."
Pak Budi tersenyum tipis. "Terima kasih, Nak. Ibu memang tahu, teh jahe bisa menghangatkan sampai ke hati."
Sarah ikut duduk di sampingnya. Mereka berdua terdiam, menikmati alunan simfoni alam yang terasa begitu akrab. "Bapak masih memikirkan Ibu?"
Pak Budi mengangguk pelan. "Setiap hari. Rasanya baru kemarin kita duduk di sini, berjanji untuk tidak pernah meninggalkan rumah ini."
"Janji yang tidak sempat terucap, Bapak."
"Ya, Nak. Janji itu. Ibu pergi terlalu cepat." Pak Budi menarik napas panjang. "Dulu, Ibu pernah bilang, 'Rumah ini seperti kita, Budi. Kayunya boleh tua, catnya boleh memudar, tapi fondasinya harus tetap kuat.' Dan Ibu adalah fondasi rumah ini."
Sarah menggenggam tangan ayahnya. "Bapak adalah fondasi rumah ini juga. Bapak sudah menjaganya dengan baik. Sama seperti Bapak menjaga kenangan tentang Ibu."
Malam itu, mereka berdua berbagi cerita. Mereka mengenang saat Bu Sari dengan semangat mengecat jendela, memilih tanaman hias, dan menertawakan Pak Budi yang selalu gagal memancing. Setiap cerita adalah sepotong puzzle yang melengkapi gambaran utuh tentang keluarga kecil mereka.