Mohon tunggu...
amirhamzahuinmataram
amirhamzahuinmataram Mohon Tunggu... Politik, Filsafat, Sosial Budaya, Keagamaan

saya adalah lulusan program studi Pemikiran Politik Islam UIN Mataram. saya menyukai isu filsafat, politik dan sosial keagamaan dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bubarkan DPR. Bagaimana Rakyat tanpa perwakilan dan bagaimana kekuasaan tanpa pengawasan

24 Agustus 2025   08:38 Diperbarui: 24 Agustus 2025   08:38 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan salah satu pilar terpenting yang menopang tegaknya demokrasi. DPR bukan sekadar lembaga legislatif yang berfungsi membuat undang-undang, tetapi juga lembaga yang menjalankan fungsi representasi rakyat, pengawasan, serta penganggaran. Melalui DPR, aspirasi masyarakat diartikulasikan, disalurkan, dan diwujudkan dalam kebijakan negara. Oleh karena itu, gagasan untuk membubarkan DPR justru sangat berbahaya, karena akan menghilangkan wadah formal bagi rakyat dalam menyuarakan kepentingannya sekaligus membuka jalan bagi lahirnya kekuasaan eksekutif yang absolut.
Sejarah politik Indonesia maupun dunia menunjukkan bahwa ketika lembaga legislatif dilemahkan atau bahkan dibubarkan, maka kekuasaan cenderung terkonsentrasi di tangan presiden atau kepala negara. Situasi seperti ini akan menimbulkan apa yang disebut sebagai otoritarianisme eksekutif, yakni kondisi di mana cabang eksekutif berkuasa tanpa kontrol yang memadai dari lembaga lain. Padahal, salah satu prinsip utama demokrasi adalah adanya sistem check and balance, yaitu saling mengawasi dan mengimbangi antar lembaga negara agar tidak ada satu pihak pun yang terlalu dominan.
Jika DPR dibubarkan, maka presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif akan kehilangan "mitra sejajar" dalam proses legislasi maupun pengawasan. Bayangkan, siapa yang akan mengkritisi kebijakan pemerintah jika tidak ada DPR? Siapa yang akan mengontrol penggunaan anggaran negara, padahal jumlahnya mencapai ribuan triliun rupiah setiap tahunnya? Tanpa DPR, maka presiden dapat membuat kebijakan sepihak, mengalokasikan anggaran sesuka hati, bahkan mengeluarkan keputusan yang berdampak luas bagi rakyat tanpa ada mekanisme koreksi dari wakil rakyat. Kondisi ini tentu berbahaya, karena pada dasarnya kekuasaan yang tidak diawasi akan mudah disalahgunakan.
Kita bisa belajar dari pengalaman sejarah. Pada tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan DPR hasil Pemilu 1955. Sebagai gantinya, dibentuklah DPR-GR (Gotong Royong) yang keanggotaannya ditunjuk langsung oleh presiden. Apa dampaknya? Representasi rakyat menjadi lemah, karena anggota legislatif tidak lagi dipilih secara demokratis, melainkan ditentukan oleh kehendak eksekutif. Akibatnya, suara kritis terhadap pemerintah berkurang, dan kebijakan negara lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan elite kekuasaan. Hal ini menunjukkan bahwa pembubaran DPR tidak hanya melumpuhkan demokrasi, tetapi juga merugikan rakyat, karena mereka kehilangan saluran representasi yang sah.
Selain itu, dalam konteks modern, banyak negara yang jatuh ke dalam rezim otoriter karena melemahkan atau meniadakan parlemen. Misalnya, di beberapa negara Amerika Latin maupun Afrika, presiden yang membubarkan parlemen seringkali menggunakan alasan "efisiensi" atau "stabilitas politik". Namun kenyataannya, setelah parlemen dibubarkan, kontrol publik melemah, korupsi merajalela, dan hak-hak sipil warga semakin ditekan. Hal ini menjadi pelajaran penting bagi Indonesia: membubarkan DPR bukanlah solusi, tetapi justru pintu masuk menuju kemunduran demokrasi.
Di samping fungsi pengawasan, DPR juga memiliki peran vital dalam proses legislasi dan penganggaran. Tanpa DPR, maka pembuatan undang-undang sepenuhnya akan ditentukan oleh presiden. Padahal, hukum yang baik seharusnya lahir dari diskusi, debat, dan keterlibatan berbagai pihak yang mewakili kepentingan rakyat. Jika hanya eksekutif yang membuat aturan, maka hukum bisa saja dibuat untuk menguntungkan penguasa, bukan rakyat. Begitu juga dengan penganggaran, APBN yang seharusnya diputuskan bersama DPR akan sepenuhnya dikuasai presiden. Ini jelas berpotensi menimbulkan praktik penyalahgunaan anggaran dan pengelolaan keuangan negara yang tidak transparan.
Oleh karena itu, membubarkan DPR sama saja dengan mematikan demokrasi secara perlahan. Rakyat kehilangan perwakilan, mekanisme pengawasan runtuh, dan kekuasaan presiden menjadi nyaris absolut. Dalam konteks inilah, sikap menolak pembubaran DPR bukanlah sekadar pilihan politik, melainkan sebuah keharusan untuk menjaga masa depan demokrasi Indonesia.
Justru yang perlu dilakukan adalah mereformasi DPR, bukan membubarkannya. Memang, kita tidak bisa menutup mata bahwa DPR kerap mendapat kritik karena praktik korupsi, rendahnya kinerja, atau kurang responsif terhadap aspirasi rakyat. Namun solusi dari masalah ini adalah dengan memperkuat transparansi, meningkatkan partisipasi publik, memperbaiki sistem rekrutmen politik, dan menegakkan hukum terhadap anggota DPR yang menyalahgunakan wewenang. Dengan kata lain, DPR harus diperbaiki, bukan dihapuskan.
Kesimpulannya, pembubaran DPR akan menimbulkan risiko besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa DPR, rakyat tidak memiliki saluran representasi yang sah, fungsi pengawasan lumpuh, dan presiden berpotensi menjadi penguasa absolut. Sejarah telah membuktikan bahwa kondisi semacam ini hanya akan membawa kemunduran, bukan kemajuan. Oleh sebab itu, sikap tidak setuju terhadap gagasan pembubaran DPR merupakan bentuk tanggung jawab untuk mempertahankan demokrasi, menolak otoritarianisme, dan memastikan bahwa suara rakyat tetap hidup dalam ruang-ruang politik Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun