Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gejala Infobesitas dalam Masyarakat Nirliterasi

10 November 2020   11:08 Diperbarui: 11 November 2020   06:14 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Photo by Peter Olexa from Pexels)

Banjir informasi yang datang tanpa kemampuan untuk memilah informasi yang bermakna akan menjadikan kita ibarat perahu dalam ayunan gelombang. Bahkan sebenarnya sadarkah kita untuk membedakan antara riak, ombak dan gelombang?

Faktanya, 24 jam kita terpapar informasi, 7 hari dalam sepekan kita disuguhi data demi data, sebulan penuh kita berfikir dalam bingkai yang dibentuk media dan sepanjang tahun pula kecenderungan pilihan sikap dan tindakan kita didorong oleh narasi dan wacana yang diapungkan para pesohor. 

Sebut saja sumbernya dari pesohor resmi dari para pejabat maupun pesohor tidak resmi dari para pemengaruh (influencer) bahkan pendengung (buzzer).

Mengutuk jaman bukanlah langkah yang dapat mengakhiri kegilaan ini. Mengutuk penguasa tidaklah serta merta akan mendatangkan kelegaan, bahkan salah mengutuk bisa jadi menghasilkan tuntutan ke pengadilan. Mengutuk media bukanlah juga cara ampuh untuk melimpahkan beban pikiran karena mereka selalu punya cara untuk mendekati kita kembali.

Suka tidak suka saat ini kita berada dalam era informasi. Teknologi digital dan internet mengubah cara kita berinteraksi dengan informasi. Untuk mempelajari wilayah tertentu, di abad pertengahan Ibnu Bathutah melakukan perjalanan panjang dan jauh mengunjungi beberapa negara berkeliling dunia. Tentu banyak resiko yang dihadapi dalam perjalanan tersebut. 

Tome Pires juga melakukan hal yang sama untuk mendapatkan gambaran dunia yang saat itu belum banyak diketahui. Alfred Wallace melakukan perjalanan yang sama untuk mempelajari sejarah alam. Sebut juga perjalanan Cheng Ho dalam deretan para pengelana masyhur itu.

Perjalanan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk mencari informasi itu menghasilkan pengetahuan yang berguna sampai ke generasi hari ini. Kita yang tidak cukup memiliki sumber daya atau keberanian seperti mereka, sebelum internet berkembang, cukup berkunjung ke perpustakaan atau ke lembaga arsip.

Persamaan antara pengelana masyhur abad pertengahan tersebut dengan kita sebelum internet datang adalah informasi atau data dicari berdasarkan kebutuhan. Informasi yang terkait dengan fakta sejarah akan kita telusuri dari arsip-arsip yang relevan. Pengetahuan baru akan kita telusuri dari buku-buku di perpustakaan yang karena menulis buku, dulunya, adalah pekerjaan serius dan sulit maka kredibilitas buku yang ada tidak diragukan lagi.

Apa yang terjadi dewasa ini?

Deretan posting-an foto jaman dahulu di akun medsos individu atau komunitas, ditambahi komentar-komentar netizen, tetiba menghadirkan perasaan bahwa kita pun sebenarnya layak disebut sejarawan karena kita punya koleksi kisah masa lalu plus sedikit foto. Rajin mengikuti tayangan di akun medsos berbau nasehat agama seketika menghadirkan rasa bahwa kita pun layak untuk juga mengeluarkan fatwa halal-haram.

Informasi itu datang bahkan tanpa kita harus meninggalkan tempat duduk di ruangan ber-AC yang nyaman. Uraian pemilik akun yang kita ikuti sangat membuai nalar dan karenanya sedikit demi sedikit menyisihkan ruang kritis dalam pikiran. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun