Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gejala Infobesitas dalam Masyarakat Nirliterasi

10 November 2020   11:08 Diperbarui: 11 November 2020   06:14 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Photo by Peter Olexa from Pexels)

Siapa yang cukup peduli untuk memverifikasi tayangan di media internet dengan mengujinya ke perpustakaan atau lembaga arsip? Sepertinya yang ada adalah kita lebih mudah memilih memverifikasi dengan membuka laman yang lain dan tetap tanpa beranjak dari tempat duduk di ruangan ber-AC.

Pencari dan penghasil informasi sama-sama duduk di ruangan ber-AC dan membanjiri lalu lintas data di internet menghasilkan ledakan informasi (information explosion). Istilah "ledakan informasi" menurut Laura Perdew dalam bukunya Information Literacy in Digital Age (2017), muncul pertama kali di tahun 1941 sebagai cara menjelaskan peningkatan yang sangat cepat dalam ketersediaan data dan informasi.

Ledakan informasi dipicu terutama oleh organisasi pemerintah di tahun 1980-an dan semenjak itu orang menggunakan internet sebagai anjungan (platform) untuk mencari, menghasilkan dan berbagi informasi yang jumlah juga terus meningkat.

Masih di buku yang sama, statistik tahun 2013 menunjukkan bahwa 90 persen informasi di dunia dihasilkan dalam hanya 2 (dua) tahun sebelumnya. Dengan kata lain, sejak awal peradaban manusia sampai tahun 2011 akumulasi informasi yang dihasilkan hanya 10%! 

Para pakar memprediksi bahwa sampai tahun 2020, jumlah informasi baru yang dihasilkan mencapai 44 kali lebih besar dari yang dihasilkan sampai tahun 2009.

Dalam tumpukan informasi yang menggunung tersebut lebih mudah atau lebih sulit kah menemukan informasi? Sekadar menemukan informasi pastilah jawabannya lebih mudah, tapi mendapatkan informasi yang valid dan sesuai kebutuhan? Para ahli hanya menyimpulkan bahwa literasi informasi kini jauh lebih rumit dibanding 50 tahun lalu.

Kita menghabiskan sebagian besar waktu untuk berinteraksi di media (sosial) tapi seringnya hal itu tidak dibarengi dengan kemampuan kritis untuk menganalisa dan memahami apa yang sedang terjadi. 

Tara Susman-Pena et.al (2020) dalam Fighting Misinformation, Digital Media Literacy  mengutip penelitian di Universitas Stanford tahun 2016 yang menunjukkan bahwa penduduk usia muda lebih gampang diperdaya oleh media khususnya yang datang melalu kanal media sosial.

Penelitian lain yang dilakukan di Universitas New York menunjukkan bahwa penduduk usia lebih dari 65 tahun berbagi tujuh kali lebih banyak informasi yang salah (misinformasi) dibanding mereka yang berusia muda.

Penelitian tersebut mengirim pesan bahwa tanpa melihat usia, sepanjang terkoneksi dengan media berbasis internet maka peluang terjadinya kesalahan informasi selalu mengiringi setiap sentuhan jari-jemari kita di papan bidai (keyboard) atau gawai (gadget) yang setia menemani detik demi detik keseharian kita.

Dalam gelombang informasi yang menggunung itu lah kini kita hidup. Terpaan banjir informasi setiap saat menuntut kewarasan untuk menyikapi kejadian di sekitar kita atau dengan istilah yang lebih mutakhir, literasi informasi menjadi satu perangkat yang harus dilekatkan ke dalam benak sebelum proses bernalar memanfaatkan data dan informasi yang bertebaran di dunia maya dapat dilakukan dengan logis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun