Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mana Lebih Berbahaya, Koruptor atau Corona?

5 April 2020   15:29 Diperbarui: 7 April 2020   07:50 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi KPK menangkap koruptor. (sumber: KOMPAS)

Mengikuti pemberitaan seputar Corona dan ancamannya di ruang publik, mulai dari cara mengantisipasi, cara menangani sampai siapa yang harus berbuat apa, maka nampaklah bahwa publik belumlah sampai pada kesepakatan utuh tentang seperti apa sebenarnya ancaman dari si virus.

Istana punya bahasa dan gaya sendiri, publik punya ekspektasi sendiri dan selalu ada sisi metaforis yang membuat kata dan harapan terkadang bersimpang jalan di marka tanda tanya besar. 

Kecepatan tanda tanya berbiak dalam benak berkelindan dengan peningkatan jumlah kasus yang saban sore dihidangkan kepada kita. Dan dari sebelah sang penyampai warta, terbitlah petunjuk penanganan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ternyata isinya adalah petunjuk agar melihat petunjuk pada aturan lain. Hadeuh....!

Corona ternyata membuat kita kalang-kabut. Jenazah pun tertolak melintas hanya karena sang mayat diurus dan diantar dengan protap. Kepala daerah dan pemerintah larut dalam sawala (debat, berbantah) tanpa suara namun terdengar nyata. 

Ketika jumlah kasus merangkak naik, kematian terus bertambah, iringan jenazah demi jenazah pun menyapa gerbang kampung dan pemukiman mohon perkenan lewat menuju lahat membawa stigma aib yang dilekatkan tanpa rasa. Iringan jenazah ternyata juga diringi bantah berbantah dari dan dalam istana sendiri. Duh!

Jasad renik tak berwajah itu menyeramkan dan tergambar dari kepanikan, kecemasan dan bahkan kegagapan. Namun pada sisi lain di negeri ini ada juga yang menganggapnya hanya sekadar isu, atau paling tidak ancamannya belum sebanding dengan ancaman kematian di dalam rumah, kelaparan karena karantina atau isolasi mandiri. 

Bayang-bayang rasa kesepian dan kekosongan berhari raya tanpa suasana mudik dan kesempatan silaturahmi dengan keluarga dan jiran tetangga lebih menakutkan ketimbang berdiam di kota yang sejatinya bukan mereka yang punya.

Ketika kita dedah siapa saja mereka, maka terungkaplah bahwa ancaman apalagi sekadar himbauan hanya akan bermakna sebatas tingkat kepentingan untuk mempertahankan diri.

Pemudik yang berlatar pekerja sektor informal di perkotaan lebih terancam eksistensinya kalau tetap bertahan di kota yang sudah menerapkan bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan bentuk pembatasan sosial lainnya.

Bagi mereka sebaik-baik tempat adalah rumah di kampung yang selalu menyambut hangat dan karenanya memberi rasa aman. Ancaman Covid-19 hanya soal takdir bagi mereka.

Pengancam haruslah dilawan, dibendung, dibatasi peluang geraknya agar tidak menambah kekalutan. Bukan hanya pengancam, pembawa ancaman pun harus dibatasi agar tidak menjadi penyebar. Karantina, kuncitara (lockdown), isolasi adalah bentuk-bentuk ungkapan untuk menjelaskan cara membatasi gerak sesuatu yang akan mengancam kita.

Tahukah anda bentuk pembatasan fisik yang paling sempurna? Penjara!

Negara sering menghaluskannya dengan istilah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Istilah terakhir untuk menunjukkan bahwa ada upaya untuk menetralisir ancaman melalui langkah tertentu dalam jangka yang telah diatur sehingga pada saatnya kelak, berakhirnya pembatasan fisik berarti sempurnanya proses memasyaratkan kembali si pengancam masyarakat.

Dengan latar pemikiran sederhana di atas, bagaimana membaca meme di media sosial yang salah satunya kira-kira berbunyi begini.

"Gara-gara Corona, 
Kita yang bebas disuruh diam di rumah dan tidak boleh keluyuran 
Lah, mereka yang dipenjara malah dilepaskan?
Bebas gara-gara Corona"

Tentu kita dapat menjelaskan bahwa makna bebas bagi kita yang tidak sedang dipenjara dan arti bebas bagi mereka yang tadinya dipenjara adalah hal yang berbeda.

Bebasnya narapidana tidak berarti mereka akan bebas keluyuran, karena seketika mereka keluar dari penjara, himbauan atau perintah untuk berdiam di rumah pun berlaku bagi mereka. Keluar dari tembok penjara lalu pindah ke batas pekarangan rumah.

Pemaknaannya akan berbeda kalau yang dibebaskan dari penjara adalah juga termasuk para koruptor. Meski hal ini dibantah oleh pejabat terkait.

Namun mencuatnya isu ini di media memberi sinyal adanya keinginan pihak-pihak tertentu untuk melakukannya dengan beragam alasan, kemanusiaan misalnya.

Apa boleh buat, mereka yang divonis bersalah dalam kasus korupsi akan menghadapi kenyataan beratnya tahap pemasyarakatan itu. Selesai menjalani masa pidana pun belum tentu semua akan kembali normal. 

Cemarnya nama, corengnya muka dan rusaknya reputasi tidak akan mudah dihapus dalam benak sebagian masyarakat, pegiat anti korupsi dan media. Artinya bagi sebagian kalangan, ancaman dan bahaya korupsi masih dipandang tinggi.

Bahwa korupsi lebih mengancam dan berat menanganinya juga tercermin dari beredarnya berita Pimpinan KPK yang ingin gajinya dinaikkan.

Permintaan kenaikan gaji KPK atau apalah namanya, biasanya karena si pekerja merasa antara beban atau resiko yang ditanggung dengan manfaat yang diterima tidak sebanding. Beban terlalu tinggi dalam pekerjaan bisa jadi muncul karena ancaman atau tekanan.

Terkait berita ini, klarifikasi KPK telah diberikan tapi sayangnya hanya mengatakan bahwa bukan pimpinan saat ini yang mengusulkannya. Tidak mengatakan dengan tegas penolakan atas usulan kenaikan gaji, artinya selama dimungkinkan naik tentu akan lebih bagus.

Barangkali memang KPK membutuhkan tambahan dukungan dalam bentuk penyesuaian gaji (istilah lain untuk kenaikan yang sering digunakan oleh pejabat publik, he he), karena ketika virus Corona yang tidak kelihatan wujudnya secara langsung dapat diprediksi pola penyebaran dan karenanya muncul anjuran cara membatasinya, seorang yang bernama Harun Masiku sampai hari ini belum ketahuan di mana posisinya.

Di mana Harun Masiku? Dengan bukti rekaman CCTV yang banyak beredar di media, yang bersangkutan telah pulang ke, dan karenanya pasti ada di, Indonesia, namun nyatanya KPK belum juga berhasil menemukannya.

Pembatasan mobilitas yang diterapkan selama pandemi Covid-19 nyatanya tidak membantu KPK melacak keberadaan Masiku. Saat-saat ini sebagian besar kita berada di rumah, dan hanya kondisi mendesak sajalah kita akan keluar dari rumah. 

Lalu lintas komunikasi melalui jejaring internet tentunya akan meningkat, termasuk Masiku yang pastinya akan butuh asupan makanan di tempatnya bersembunyi saat ini. 

Jangan lupakan bahwa penyedia layan antar juga berkurang drastis karena social distancing. Artinya Masiku saat ini berada di suatu tempat yang sedang terkarantina gegara Corona.

13 titik telah didatangi KPK dan Masiku belum ditemukan menunjukkan bahwa dibanding virus corona, keberadaan Masiku jauh lebih sulit dideteksi. Perangkat negara dengan perlengkapan yang katanya sangat canggih dan kekuatan yang nyaris tidak terbatas nyatanya tidak berdaya menemukan Masiku. Jangan-jangan sebenarnya Masiku tidak mungkin terdeteksi?.

Masiku memang belum berstatus koruptor (masih tersangka), namun karena KPK telah bekerja keras mencarinya menunjukkan bahwa kehadirannya sangat dibutuhkan untuk membongkar suatu kasus korupsi.

Tapi kalau berita di atas mengatakan saat ini KPK sedang fokus membantu penanganan pandemi Covid-19, maka artinya pencarian Masiku dan penanganan kasus korupsi yang bertalian dengannya, bagi KPK, tidaklah sepenting penanganan Covid-19. 

Hari-hari ini tingkat bahaya dari korupsi abaikan saja dahulu. Belum ada yang menyatakan negeri ini dalam situasi Pandemi Korupsi kok. Narapidananya pun kalau bisa juga dibebaskan dahulu.

Pada kondisi demikian, 

Janganlah berharap akan ditemukannya dengan segera vaksin antikorupsi di negeri ini. Bisa jadi hanya dengan kenaikan gaji yang signifikanlah upaya pencarian dan penemuan vaksin itu akan berhasil segera

Bagaimana dengan meme di atas? Paling tidak dengan banyak berdiam di rumah, kita punya waktu lebih untuk mencoba melakukan tracking (penjejakan) pernyataan publik dari para pejabat negeri.

Tulisan ini mungkin salah, tapi Saya atau mungkin pihak lain akan melakukan klarifikasi jika memang ada yang kurang tepat. 

Bukankah kita sudah terbiasa mendengar pernyataan pejabat yang harus diklarifikasi?

Dan bahkan Juru Bicara Istana, bahkan yang sekelas Ahli, ditambah lagi label Utama menjadi Ahli Utama pun ada yang mengklarifikasinya. Apalagi Saya dan Anda yang tidak beruntung menjadi Ahli, he he he.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun