Mohon tunggu...
Amien Laely
Amien Laely Mohon Tunggu... Administrasi - menyukai informasi terkini, kesehatan, karya sendiri, religiusitas, Indonesia, sejarah, tanaman, dll

menulis itu merangkai abjad dan tanda baca, mencipta karya seni, menuangkan gagasan, mendokumentasikan, mengarahkan dan merubah, bahkan amanah serta pertanggungjawaban

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menemukan Nasionalisme pada Mudik dan Aksara Jawa

5 Agustus 2014   22:11 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:20 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_351169" align="aligncenter" width="300" caption="Monumen "][/caption]

Monumen pada salah satu foto di artikel ini bertuliskan Aksara Jawa atau lebih dikenal dengan tulisan hanacaraka. Ketika saya pertama kali melihatnya 1 Syawal 1435 H yang lalu, saya tidak bisa membacanya. Saya kerahkan semua ingatan masa kecil untuk bisa mengenali huruf-huruf leluhur itu, tetap saja saya tak mampu menemukan bunyi tulisan itu. Ternyata mata pelajaran “Bahasa Daerah” yang dulu pernah saya dapatkan di bangku SD dan SMP benar-benar luntur sedemikian banyak.

Waduk Bentolo dan Monumen ‘Griya Praja’

Monumen tersebut berada di puncak sebuah bukit kecil dikelilingi bendungan buatan berbentuk tapal kuda di sebuah desa terpencil di wilayah Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Sejak tahun 1980-an lokasi tersebut sudah populer dengan nama “Waduk Brentolo”. Info terkini, nama yang benar adalah "Bentolo", bukan "Brentolo". Baiklah, lebih afdhal digunakan kata "Bentolo" saja.

Seingat saya, baru kali ini saya mendatangi tempat itu, setelah lebih dari 30 tahun saya mendengar namanya. Padahal lokasinya tak jauh dari kampung kelahiran saya, hanya berjarak 20-an kilometer. Namun baru sekarang saya menyempatkan diri melihatnya, bersama keluarga.

[caption id="attachment_351174" align="aligncenter" width="300" caption="Perjalanan Membelah Hutan Jati menuju Waduk Bentolo (Foto Koleksi Pribadi)"]

1407226183254555629
1407226183254555629
[/caption]

Saya sedikit kecewa, ternyata Waduk Bentolo hanya berupa bendungan kecil yang luasnya sepertinya tak beda jauh dengan lapangan sepak bola. Padahal bangunan buatan penampung air itu begitu melegenda ketika saya masih usia kanak-kanak. Belum lagi saat saya ke sana, airnya tak cukup banyak.  Pun ada hamparan kotoran lumut yang cukup luas menutup lebih dari 1/3 permukaannya.

[caption id="attachment_351170" align="aligncenter" width="300" caption="Waduk Bentolo (Foto Koleksi Pribadi)"]

1407225659159139533
1407225659159139533
[/caption]

Justru hal yang menarik perhatian adalah: ada legenda yang terlupakan di waduk kecil itu. Legenda yang diabadikan dengan monument bertuliskan aksara jawa. Saya tidak tahu nama monument itu, bahkan saya tidak sempat mencari tahu namanya, karena memang monumen dan lokasi waduk bisa dibilang tidak terurus. Namun saya sempat menanyakan kepada beberapa remaja yang sedang nongkrong di sekitar tempat itu bahwa tulisan aksara hanacaraka pada Monumen berbunyi “Griya Praja”.

Lebih lanjut remaja ‘juru kunci’ waduk menjelaskan bahwa konon di sekitar tempat itu dulunya berdiri sebuah kerajaan atau keraton kecil. “Griya Praja” kurang lebih artinya adalah keraton raja, begitu penjelasan ala kadarnya si remaja.

Ooo… begitu rupanya cerita di balik monument 'misterius' itu. Tapi penjelasan singkat sudah cukup bagi saya sebelum meninggalkan tempat itu.

Belajar lagi Aksara Hanacaraka

Selang beberapa waktu kemudian saya cermati lagi tulisan Aksara Jawa pada foto monument tersebut, membuat saya kembali mengingat huruf-huruf Jawa itu. Saya mulai bisa mengeja tulisan itu dan membunyikan “gri-ya-pra-ja” dari tulisan itu. Meskipun tidak sangat, saya senang sekali bisa mengingat dan mengenang pelajaran tempo dulu, pelajaran "Bahasa Daerah" yang sepertinya oleh banyak orang Jawa dianggap tidak terlalu penting. Padahal sungguh ada nilai-nilai berharga dan mengesankan di sana.

Saya cermati tulisan beraksara Jawa pada foto Monumen, ada 4 huruf utama yang dituliskan. Huruf pertama adalah ga, hurufkedua adalah ya, huruf ketiga adalah pa, dan huruf keempat adalah ja.

Pada aksara (huruf) pertama (ga) ditambahkan 2 (dua) imbuhan (sandangan) sehingga berubah menjadi berbunyi “gri”. Pada aksara kedua (ya) tidak diberikan imbuhan, sehingga tetap berbunyi ya. Pada aksara ketiga (pa) diberikan 1 (satu) imbuhan sehingga menjadi berbunyi “pra”, dan pada aksara keempat tidak diberikan imbuhan, sehingga tetap berbunyi “ja”.Seluruh kalimat jika dilafalkan akan berbunyi “gri-ya-pra-ja”. Wow,… saya bisa, kata hati saya bahagia dan bangga.

Tak Ada Upaya Serius Mewariskan Budaya Bangsa

Seorang anak remaja saya yang meskipun berdarah Jawa tulen tetapi tak bisa berbahasa Jawa bertanya mengapa huruf-hurufnya sama dengan huruf Thailand? Saya jawab karena pada jaman dahulu ada hubungan dagang, budaya, dan politik antara Jawa (Indonesia) dan Thailand.

Terngiang oleh pertanyaan anak saya itu, benak saya terhenyak, betapa anak-anak Indonesia (Jawa) sekarang lebih mengenal budaya Negara lain dibandingkan budaya negerinya sendiri. Seharusnya pertanyaan tersebut dilontarkannya ketika pertama kali melihat film produksi Thailand: “Kok huruf Thailand sama dengan huruf Jawa?”, namun yang terjadi adalah sebaliknya, dia mengetahui bentuk-bentuk huruf Negeri Thailand terlebih dahulu baru kemudian dia mengenal bentuk-bentuk aksara Jawa. Atau setidaknya dia bersinggungan dengan budaya Thailand lebih banyak daripada budaya Jawa, budaya orangtuanya sendiri.

Bisa jadi sayalah yang salah karena tidak atau kurang mengenalkan dan mengajarkan budaya Jawa kepada anak-anak. Namun itulah kenyataannya, saya sendiri pun hampir lupa aksara hanacaraka. Satu indikasi bahwa jangankan kepada orang lain, untuk sendiri saja saya tak cukup gigih men-JAWA-kan diri.

Namun sungguh saya merindukan dan membanggakan budaya Jawa dan budaya Indonesia umumnya. Saya berandai-andai, alangkah bergeloranya nasionalisme negeri ini jika di banyak tempat yang di situ ada orang Indonesia, lebih-lebih orang Jawa, mudah ditemui jejak dan warisan budaya Jawa, tulisan aksara hanacaraka misalnya. Alangkah bangganya jika setiap papan nama jalan selalu disertai tulisan hanacaraka-nya. Kalo tidak salah, di Yogjakarta, hal ini dilakukan oleh pemerintah kotanya. Mudah-mudahan ingatan saya tidak salah.

Budaya dan Identitas Bangsa

Saya jadi bertanya-tanya. Pertanyaan yang sebenarnya sudah lama menggelayuti benak saya, bahkan bukan tidak mungkin telah menjadi teka-teki misterius di alam bawah sadar: mengapa Negara-negara maju Asia selalu memiliki akar dan identitas budaya yang kuat dan mungkinkah lambannya kemajuan Indonesia disebabkan bangsa ini tidak tumbuh dari identitas budaya yang kuat?

Jepang, Korea, China, dan mungkin bisa disebut juga Thailand, memiliki budaya, berupa bahasa dan huruf lokal yang terpelihara dengan baik hingga saat ini. Serbuan ilmu pengetahuan Eropa dengan budaya a-b-c-nya ke seluruh dunia tak bisa menghapuskan budaya dan tulisan lokal mereka.

Sementara di Indonesia, huruf lokal ditinggalkan oleh banyak warganya. Orang Jawa tak lagi menguasai bahasa dan aksara Jawa, meskipun secara masif, melalui jalur pendidikan, dengan mata pelajaran Muatan Lokal (atau Bahasa Daerah), upaya itu dilakukan. Namun seingat saya, murid-murid sekolah hanya mendapatkan pelajaran tersebut di bangku SD dan SMP, itupun dengan segala permasalahan yang menyertainya.

Budaya vs Industri

Banyak orang menyalahkan dunia industri, dengan menuduh industri lah yang merusak warisan budaya, identitas bangsa, masa depan generasi, dan seterusnya, karena industri hanya mempertimbangkan keuntungan, uang, investasi, dan produksi.

Untuk apa melestarikan warisan nenek moyang kalau kita rugi? Kurang lebih begitulah sebagian argument yang dituduh melemahkan jati diri dan budaya bangsa sebagai imbas industri. Dan boleh jadi, itu benar, industry tidak pro budaya.

Yang jelas, symbol-simbol budaya negeri ini banyak yang tak terwariskan dengan baik, satu hal yang menurut saya wajar dan manusiawi, karena Saya meyakini bahwa semua Negara mempunyai problem yang serupa dalam hal pewarisan budaya bangsa kepada generasi berikutnya. Penyebabnya adalah karena kemajuan peradaban bumi membutuhkan budaya yang sesuai zamannya, yang tidak sama dengan budaya jaman sebelumnya.

Hanya saja, ada warisan-warisan budaya yang seharusnya dilestarikan dan diabadikan. Tulisan adalah salah satu dari budaya yang harus dilestarikan dengan setidak-tidaknya memajang tulisan itu di sebanyak mungkin tempat yang banyak dilalui penduduknya.

Mencantumkan tulisan dengan huruf lokal pada papan nama jalan adalah salah satu contoh paling mudah. Akan lebih hebat jika ada yang menulis buku cara membaca Aksara Jawa seperti buku Iqro untuk membaca Tulisan Arab.


Cara lain adalah mengadakan festival budaya secara berkala, tahunan. Festival Hanacaraka, Festival Wayang Kulit, Festival Ketoprak, dan sebagainya. Khusus dalam Festival Hanacaraka setidaknya ada lomba menulis cerpen berbahasa Jawa dengan Aksara Hanacaraka, Lomba membaca artikel bertuliskan Aksara Jawa, dan Lomba Kaligrafi Aksara Jawa. Pasti sangat menarik dan mendidik.


Dan sekali lagi, jika melihat misal kegiatan yang saya contohkan, ternyata melestarikan budaya seperti mengadakan festival, adalah cost, pengeluaran, bukan income, bukan pendapatan. Maka perlu pengorbanan dan perjuangan. Jer Basuki Mawa Bea. Segala kesuksesan membutuhkan dana.

Mungkin karena itulah melestarikan budaya negeri adalah aktifitas yang tidak menarik dan wajar jika budaya leluhur lambat laun menghilang. Saya jadi tahu mengapa saya lupa aksara Jawa dan anak-anak Jawa kita tidak tahu tulisan hanacaraka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun