Oleh Amidi
Ganjang ganjing penutupan kantor bank sepertinya terus bergulir. Pasca krisis moneter yang menjelma menjadi krisis  ekonomi beberapa tahun lalu ditambah pandemi yang melanda negeri ini, menyebabkan ratusan kantor bank  tutup dan atau di tutup.  Berdasarkan data OJK awal Peberuari 2024 lalu saja, jumlah kantor bank menyusut  294 menjadi 24.368 kantor.Sementara pada Pebruari 2024  lalu, bank BUMN menutup sebanyak 483 kantor  dan bank swasta sebanyak 411 kantor (lihat Kompas.com, 10 Mei 2024).
Penutupan kantor bank tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di negara maju juga demikian. Misalnya Lloyds Banking Group. Kelompok perbankan (Lloyds,  Halifax, dan Bank of  Scotland) ini juga telah menutup ratusan kantor bank mereka. Ini termasuk Netwest, yang akan menutup 53 cabang pada paruh pertama tahun 2025, Barclyas, yang sedang dalam proses menutup 99 cabang pada akhir tahun ini, dan Santander yang berencana untuk menuutp 95 cang di seluruh negeri. (lihat MoneyWeek.com).
Â
Mengapa Tutup?
Penutupan kantor bank tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk faktor layanan digital, sebagian besar nasabah sudah mengunakan layanan digital. Hal ini diakui sendiri oleh  pihak Lloyds  bahwa pengguna digital mereka  telah melampaui  20 juta nasabah. Sementara transaksi melalui loket turun  hingga 50 persen di beberapa cabang yang akan ditutup.
Bila dicermati, memang layanan digital ini, saat ini lagi "buming", sehingga tidak heran, kalau digitalisasi ini menjadi bumerang bagi perbankan. Saat ini lembaga keuangan non bank saja berlomba-lomba menyediakan layanan digital, seperti layanan pada e-money atau e-wallet atau lembaga pinjaman online (pinkol) yang makin marak. Â
Disatu sisi, jika perbankan tidak menyediakan layanan digital, mereka akan kalah bersaing dengan layanan pada lembaga keuangan non bank tersebut dan mereka  akan ditinggalkan oleh nasabah. Disisi lain, dengan adanya layanan digital tersebut, menggiring nasabah untuk melakukan transaksi dengan menggunakan layanan digital dan atau meninggalkan layanan loket atau layanan teller.
Akibat nasabah cendrung tidak menggunakan layanan loket atau teller dan beralih ke layanan digital tersebut, mendorong SDM yang ada pada bank cendrung idle, yang pada akhirnya menuntut adanya efisensi. Dengan demikian, maka penutupan kantor atau pengurangan kantor layanan  memang harus dilakukan oleh pemilik atau pengelola.
Kemudian, tidak hanya faktor digitalisasi saja, tetapi masih ada beberapa faktor lain yang mendorong penutupan kantor bank tersebut. Misalnya faktor efisiensi operasional. Kemudian, maraknya  kejahatan kerah putih (white collar crime) baik yang terjadi dalam lingkungan bank sendiri maupun yang dilakukan oleh pihak eksternal bank. Selain ada beberapa faktor lainnya,  faktor hight cost yang membebani nasabah juga menjadi faktor pendorong bank tutup.
Faktor Efisiensi. Selain efisiensi atas imbas adanya pelayanan digital dalam dunia perbankan, efisiensi operasional juga mewarnai kantor bank banyak yang ditutup pemilik atau pengelolanya.
Kita tahu selama ini, terutama pada sat dikeluarkannya  Paket Oktober beberapa tahu lalu yang memberi kemudahan untuk mendirikan suatu bank, sehingga bank pada saati itu mulai menjamur. Ditambah lagi adanya prinsip untuk mendekatkan layanan kepada nasabah, agar nasabah tidak perlu jauh-jauh mencari atau pergi ke kantor bank, maka bank berlomba-lomba memperbanyak kantor kas, kantor cabang pembantu, dan kantor cabang. Sehingga tak ayal lagi jumlah bank terus bertambah.
Namun, kini kejayaan itu sudah mulai luntur, dengan adanya layanan digital dan adanya persaingan antar lembaga keuangan, e-money, e-wallet, lembaga pinjaman online (pinjol). Kini pihak perbankan sudah banyak yang menutup kantor kas, kantor cabang pembantu dan kantor cabang tersebut.