Mohon tunggu...
Amidi
Amidi Mohon Tunggu... Dosen - bidang Ekonomi

Fakultas Ekonomi dan.Bisnis Universitas Muhamadiyah Palembang

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Pakaian Bekas Impor: Pertaruhan Antara Pendapatan Rendah dan Menjaga Gengsi

25 Maret 2023   14:45 Diperbarui: 31 Maret 2023   21:05 1174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toko thrifting wanita di Kota Cimahi, Jawa Barat.(Kontributor Bandung Barat dan Cimahi, Bagus Puji Panuntun)

Permasalahan pakaian bekas impor akhir-akhir ini memang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan. 

Persoalan yang satu ini memang cukup "menggelitik" untuk diangkat. Untuk itu saya pun mencoba mengangkat persoalan yang satu ini.

Keberlangsungan pelaku usaha yang menjual pakaian bekas tersebut, akan terhenti dengan adanya larangan terhadap bisnis yang satu ini. 

Dalam Kompas.com, 16 Maret 2023, dijelaskan bahwa Presiden Joko Widodo mensinyalir pakaian bekas  sangat mengganggu industri tekstil dalam negeri. Oleh karena itu, ia meminta agar bisnis tersebut ditelusuri dan ditindak. 

Diperkuat oleh Menteri Perdagangan Zulkipli Hasan yang mensitir bahwa pakaian bekas yang didapat dari thrifting (belanja baju bekas) beresiko menularkan penyakit kulit pada pemakianya dan bisa mengahancurkan UMKM lokal. Ia mencontohkan di Mojokerto kerugian akibat adanya bisnis pakaian bekas ini mencapai lebih dari 10 Miliar Rupiah.

Berdasarkan informasi dari Kementerian Perdagangan, bahwa larangan terhadap bisnis thrifting tersebut  mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Eskpor dan Barang  Dilarang Impor (tempo.co, 23 Maret 2023).

Mengapa pakaian bekas impor yang akan dilarang tersebut sangat diminati? 

Jawabnya, banyak faktor yang mendorongnya, secara umum kualitasnya baik dan harganya lebih murah. 

Pakaian bekas yang dijual tersebut masih dalam kondisi bagus bahkan ada yang masih baru, masih terdapat merek yang menempel, dan merek tersebut sudah terkenal. Kemudian pakaian bekas yang dijual tersebut, harganya jauh lebih murah dibandingkan pakaian baru yang sejenis.

Kemudian, faktor lain yang mendorongnya, adalah karena pendapatan anak negeri ini yang sebagian besar masih tergolong rendah ditambah adanya unsur keinginan yang kuat untuk menjaga gengsi. 

Kedua faktor ini sebenarnya bukan merupakan rahasia umum lagi, untuk itu  saya merasa perlu mengupasnya lebih mendalam lagi.

Faktor Pendapatan

Berdasarkan data,  Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB), PDB per kapita negeri ini pada tahun lalu mencapai 71,0 juta Rupiah atau  US$ 4.783,9  atau rata-rata pendapatan penduduk negeri ini sebesar 5,9 juta Rupiah setiap bulannya (bps.go.id, 06 Pebruari 2023). 

Pendapatan per kapita di tingkat daerah pun tidak terlalu jauh dari angka nasional tersebut, bahkan bila kita runut masih ada anak negeri ini yang pendapatannya di bawah angka Upah Minimum Provinsi (UMP), masih ada yang pendatannya/penghasilannya berkisar antara 1-2 Rupiah per bulan.

Untuk itu, tidak heran kalau dalam memenuhi kebutuhan dasarnya saja mereka masih terseok-seok, mereka harus menimbang-nimbang mana yang akan dipenuhi/dibeli terlebih dahulu. Dalam hal ini, wajar kalau mereka melakukan tindakan thrifting tersebut.

Thrifting merupakan tindakan pengehematan dalam berbelanja. Thrifting juga  mengarah pada kegiatan bebelanja produk bekas, yang dinilai memiliki harga  yang lebih murah, sehingga dianggap lebih hemat. Produk bekas tersebut biasanya berupa produk lokal terlebih produk impor. 

Laman The Daily Star mensinyalir bahwa thrifting menjadi tren di masyarakat global, tak kecuali di negeri ini (Indonesia), bahkan ada toko khusus yang menjualnya yang disebut thrif shop (news.detik.com, 17 Maret 2023).

Faktor Gengsi

Sebenarnya, penjualan pakaian bekas impor tersebut sudah lama dilakoni oleh pelaku usaha UMKM yang ada di negeri ini tak terkecuali di Palembang tempat saya tinggal. Namun pasca pandemi,  pelaku usaha yang menjualnya semakin bertambah, begitu juga dengan konsumen yang akan membelinya,  sehingga pasarnya semakin  ramai.

Di Palembang, penjualan pakaian bekas impor ini lebih ramai pada hari minggu dan menggunakan tempat khusus, di seputar PASAR CINDE. 

Suasana di sekitarnya tidak hanya diramaikan konsumen yang memburunya, tetapi diramaikan pula oleh unit bisnis ikutannya dan sekamin padatnya kendaraan yang parkir, sampai menyita badan jalan, sehingga tak ayal lagi terjadi kemacetan.

Peningkatan penjualan pakaian bekas tersebut, selain karena sebagian besar pendapatan anak negeri yang rendah (masih pas-pasan) juga karena adanya dorongan faktor menjaga gengsi dan atau  harga diri. Konsumen rela menghabiskan waktu berjam-jam memburu pakaian bekas impor tersebut demi menjaga gengsi.

Di kalangan masyarakat/konsumen beranggapan bahwa dengan memakai pakaian bekas impor yang bermerek tersebut, gengsi mereka meningkat, ada rasa percaya diri. 

Menurut hemat saya faktor yang satu ini justru lebih mendominasi mendorong konsumen memburu pakaian bekas impor tersebut.

Sebenarnya kondisi ini tidak hanya dalam hal pakaian bekas impor tersebut saja, pakaian baru pun berlaku juga, seperti pakaian lokal yang meniru atau memasang merek luar sebelumnya banyak diburu, karena selain harganya memang lebih murah dibandingkan dengan pakaian aslinya, juga karena faktor menjaga gengsi tersebut. Dengan memakai pakaian "bermerek" tersebut, walaupun tidak asli,  terlihat lebih "percaya diri" dan dapat manjaga  gengsinya.

Pakaian bekas tersebut, walaupun menimbulkan efek negatif, juga berdampak positif, seperti dampaknya dalam menyelamatkan bumi karena dapat menunda waktu pembuangan pakaian bekas ke dalam kotak sampah yang akan mencemari bumi. Namun, terlepas dari itu semua, yang jelas dalam menyikapi persoalan yang satu ini, setidaknya ada beberapa faktor yang harus diperhatikan.

Pertama, larangan terhadap pakaian bekas impor tersebut harus tuntas. Bila peraturan larangan impor pakaian bekas tersebut akan diefektifkan, maka harus ada solusi yang dapat mempertahankan pelaku usaha yang sudah terlanjur melakoni penjualan pakaian bekas impor tersebut agar tetap dapat berusaha, sebaiknya kita menjembatani mereka untuk melakukan bisnis lain sesuai dengan minat mereka masing-masing. 

Setidaknya, harus ada pembinaan dan bantuan baik dari sisi manajemen maupun dari sisi modal.

Kedua, agar gengsi anak negeri ini selaku konsumen (yang sudah bekerja) dalam hal berpakaian tersebut tetap terjaga (dapat membeli baju baru), tidak ada pilihan lain kita harus berupaya meningkatkan pendapatan/penghasilan mereka. 

Peningkaan pendapatan/penghasilan, secara umum dapat dilakukan dengan peningkatan pendapatan negara dengan mengoptimalkan sumberdaya alam yang kita miliki, karena dengan demikian pengeluaran negara pun akan meningkat yang pada akhirnya berpengaruh terhadap peningkatkan pendapatan unit usaha tempat mereka bekerja yang pada akhirnya akan berdampak juga pada peningkatan pendapatan/penghasilan pegawai yang ada.  

Bagi konsumen (yang belum bekerja), supaya ada dorongan untuk menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya dan mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja lokal untuk mengisi unit usaha yang ada di negeri ini. 

Ketiga, lakukan suatu hal yang mendasar. Maksud saya, sebelum aktifitas bisnis tersebut menimbulkan akses negatif, maka jauh-jauh hari kita sudah dapat mengantisipasinya. Seperti penjualan pakaian bekas impor ini kan sudah lama ada, mengapa baru sekarang kita peduli?

Menurut hemat saya, karena pelaku usaha yang melakoninya sudah terlanjur banyak dan konsumen sudah terlanjur gandrung dengan pakaian bekas impor tersebut. Untuk itu, mulai saat ini dan sedini mungkin mari kita (legislatif dan eksekutif) memulai membiasakan diri mencermati "sesuatu", agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari,  seperti persoalan yang satu ini.

Terakhir, jika kita memang mau memberi kesempatan terhadap pelaku usaha di bidang tekstil yang ada di negeri ini, kita harus sedapat mungkin menciptakan efisiensi, agar harga jual produk kita dapat bersaing dengan produk tekstil dari luar yang masuk ke negeri ini. 

Menurut saya, yang menyebabkan pelaku usaha tekstil di negeri ini tergerus bukan hanya karena keberadaan pakaian bekas impor semata tetapi oleh produk tekstil dari luar yang harganya memang lebih murah. 

Selamat Berjuang!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun