Mohon tunggu...
AMI MUSTAFA
AMI MUSTAFA Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Apalah apalah, jangan ribet! aku sendiri sudah cukup ribet orangnya

Nulis suka-suka, tema suka-suka, konsistensi suka-suka

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cenil Belajar Memaki

18 November 2020   21:51 Diperbarui: 18 November 2020   21:57 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi balita (dokpri)

Kaki kecilnya berlari kesana-kemari. Melompat lompat kecil sambil tertawa riang. Kami memanggilnya Cenil. Dia sangat suka bercanda. Kadang seolah tak kenal lelah. Meski sesekali terjatuh Ia akan cepat bangkit dan tertawa-tawa lagi. Ia senang bermain di halaman rumahku yang luas, main ayunan atau menarik-narik bunga Zinnia  yang beraneka warna sampai sang nenek, Mak Bijah, mengajaknya untuk pulang dari halaman rumahku.

Cenil  sejak bayi tinggal bersama neneknya hanya berdua saja. Sesekali pamannya datang menjelang malam untuk menemani dan pergi lagi keesokan paginya. 

Tantenya tinggal di rumah terpisah di belakang rumah mereka. Sementara Ibunya bekerja di Pangkalpinang dan hanya pulang sebulan sekali. Sedangkan ayahnya, kami sama sekali tidak tahu. Karena mereka menikah di Pangkalpinang. Selama ini kami tak pernah melihat Ayah Cenil pulang ke Koba. Kelihatannya mereka juga tertutup tentangnya, jadi kami tak pernah bertanya-tanya.

Sebelum ada Cenil Mak Bijah  lebih sering tinggal bersama Ulan, Ibu Cenil, di Pangkalpinang. Suatu hari Mak Bijah pulang membawa bayi mungil, katanya bayi itu anak yang diadopsi dari Rumah Sakit oleh Ulan. Karena Ulan sibuk bekerja maka Mak Bijah lah yang bertugas mengasuhnya. 

Ulan adalah tulang punggung keluarga sejak ayahnya meninggal. Sibuk bekerja membuatnya terlambat menikah. Setelah menikah diam-diam pun ternyata dia sulit memperoleh keturunan hingga memutuskan untuk mengadopsi anak. Dan hadirlah seorang anak yang mengisi hari-hari Mak Bijah di masa tuanya.

Tahun ini  Cenil berusia dua tahun. Sedang aktif-aktifnya bergerak dan mulai belajar sepatah dua patah kata. Lucu dan menggemaskan. Tapi kadang bisa juga jadi mengesalkan jika Mak Bijah tidak sabaran saat Cenil menangis sambil menjerit-jerit. 

Sering hatiku sedih melihat Mak Bijah dengan kesal mencubit atau memukulnya. Belum lagi kata-kata kasar, bentakan dan makian kerap terlontar pada Cenil. Kasihan, anak sekecil itu sudah harus menerima kekerasan yang dianggap sepele. Hanya jika Ulan pulang dan menginap satu dua malam Cenil mendapatkan limpahan kasih sayang yang pantas.

Lalu terjadilah musibah itu. Ulan sakit dan akhirnya meninggal. Kami para tetangga mulai mengira-ngira bagaimana nasib Cenil. Kesedihan meliputi keluarga Mak Bijah. Kehilangan seorang tulang punggung keluarga yang meninggalkan seorang anak hasil adopsi.

"Cenil..Yo ikut Ace aja ke Pangkal pinang ya?" Ajak salah seorang adik Mak Bijah saat melayat Ulan.

"Ndaakk.." teriak Cenil 

Cenil bingung melihat orang ramai di rumah tempat tinggalnya yang biasa sepi. Ibunya terbaring kaku dan dingin di ruang tamu.

"Mana umi, Nil?" tanya kami padanya

"Mi bobo" jawab Cenil lugu.

Kami tertawa miris melihatnya. Cenil masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang terjadi. Yang dia tahu Ibunya sedang tidur. Tidur panjang yang lama. Untung selama ini Cenil lebih banyak tinggal bersama Mak Bijah jadi tidak terlalu terasa baginya saat Ulan tiada. Seorang adik Mak Bijah,  menggendongnya dan memberikannya pada Mira, Tantenya yang tinggal di belakang rumah.

"Cenil sekarang sama Mama Mira ya" katanya

"Mira, kau rawat Cenil baik-baik, Ia amanat yang dititipkan untukmu" lanjutnya pada Mira. Mira hanya mengangguk.

Sejak kepergian Ulan sikap Mak Bijah semakin kasar. Kekhawatirannya akan keadaan keuangan mereka membuatnya lebih mudah emosi. Kemarahannya seringkali tertumpah pada Cenil yang semakin besar bertumbuh semakin banyak kebisaannya. Bisa memerintah, bisa berkehendak dan bisa membangkang. Kalau ada kemauannya yang tidak dituruti Cenil akan menangis menjerit-jerit. Kadang kami sering serba salah membujuknya. Dibujuk, neneknya melarang, katanya nanti jadi manja. Kalau tidak dibujuk kami disebutnya tidak perduli.

Umur Cenil bertambah dan neneknya lebih keras lagi mendidiknya. Kalau marah mulai main tangan. Mencubit dan mendorong tubuh kecil itu bahkan pernah juga memukul kepalanya. Yang paling sering adalah mengumpat, memaki dan mengancam membuang Cenil. Kata-kata 'goblok', 'tolol' 'anjing' dan 'setan Lo ya' sungguh terasa berat buat anak balita seperti Cenil.

Aku dan beberapa teman tetangga sudah terlalu sering mengingatkan Mak Bijah agar jangan terlalu keras dan kasar pada Cenil, tapi tetap saja. Sudah watak Mak Bijah seperti itu jadi sulit diubah.

Andai Cenil anak kandung Ulan mungkin sikap Mak Bijah akan lebih baik. Kadang kami heran, kalau Mak Bijah keberatan mengurus Cenil kenapa tidak dikembalikan saja ke Panti asuhan atau biarkan adik-adiknya yang merawatnya. Tapi Mak Bijah tetap ngotot merawat Cenil walaupun sangat sering mengeluh keberatan. Membuat kami para tetangga curiga tentang siapa Cenil sesungguhnya. Sikap Mak Bijah seperti antara cinta dan benci pada Cenil. Apakah ada pertalian darah diantara mereka?

Akhirnya hal itu terjawab ketika Cenil akan dibuatkan akte kelahiran. Cenil adalah cucu kandung Mak Bijah dari sang paman yang sering menginap menemani mereka waktu Cenil masih bayi. Sang paman atau ayah biologis Cenil tak bisa merawatnya karena Cenil adalah anak hasil perselingkuhan.

Itulah sebabnya sikap Mak Bijah kadang sangat kasar pada Cenil karena kesal pada ulah anak lelakinya yang akhirnya membuatnya repot mengurus bayi di usia tua.  Apalagi setelah Ulan meninggal jadi jarang datang dan tak pernah memberi nafkah. Tapi juga tak bisa membuang Cenil karena itu darah dagingnya, keturunan keluarganya.

Tapi menurutku sungguh itu bukan alasan untuk memperlakukan anak kecil dengan kasar. Diusianya yang ketiga Cenil sudah bisa membentak neneknya dengan kata-kata "tolol Lo ya'. Semakin senang membangkang dan di sela jerit tangisnya Ia memaki neneknya 'setan' atau 'kampret'.

Aku lebih senang menghindar kalau Mak Bijah dan Cenil lewat di depan rumahku. Berharap mereka tak usah singgah saja jika melihatku sedang sibuk merawat tanaman. Aku tidak tahan jika mereka singgah dan betah duduk-duduk di bangku halaman. Karena pasti akan ada pertengkaran dan caci maki antara nenek dan cucu itu. Hal sepele saja seperti misalnya Cenil menyentuh daun philodendron yang mengkilap karena baru saja ku semir pasti Mak Bijah akan membentak

"Hei!! Jangan pegang-pegang, jangan nakal ya!!"

Padahal aku saja tak kan marah jika tanamanku disentuh. Kalau sudah dibentak begitu Cenil akan cemberut marah dan balas membentak

"Bodo!! Orang cuma pegang dikit juga! Tolol Lo itu"

Astaga, tepuk jidad elus dada. 

"Cenil kok begitu sama nenek, kan gak baik" ujarku pelan seraya menatap matanya lembut.

Cukup begitu saja sikapku sudah mampu membuat Cenil melemah dan menunduk merasa bersalah. Tapi kelihatannya tetap kesal pada neneknya. Si nenek akan melanjutkan kekesalannya dengan mengomel sampai mengungkit-ungkit asal muasal Cenil. Mengatakan sikap Cenil yang keras dan kasar karena lahir dari hasil perselingkuhan. Aduh, Mak Bijah apa lupa kalau selama ini Cenil belajar dari apa yang diterimanya. Cenil hanya meniru apa yang dilakukan neneknya terhadapnya. 

Aku memilih diam dan berusaha terlihat lebih sibuk agar dia tidak tersinggung karena merasa kuabaikan. Aku tak bisa menanggapi kata-katanya karena merasa serba salah. Diingatkan malah membuat Mak Bijah marah dan tersinggung. Berkaca dari Mak Bijah dan Cenil aku bertekad untuk menjadi orang tua yang baik jika sudah berumah tangga kelak. Anak-anak adalah generasi penerus bangsa, di dalam keluarga lah Ia dibentuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun