******
Ami membaringkan tubuhnya yang terasa sangat lemas. Malam belum terlalu larut tapi udara sudah dingin sekali. Hatinya sedih karena tak melihat Ayaz. Tiba-tiba dia merasa dadanya seperti ditumbuk dengan keras. Ia terbatuk-batuk.
Nafasnya sesak, perutnya panas, seluruh tubuhnya sakit. Ia mengerang, dipikirnya magh-nya kambuh. Ia menahan sakit sampai berguling-guling dan megap-megap. Nafasnya tersendat, setiap kali Ia menarik nafas ulu hatinya seperti dicengkeram dan dipilin.
Sementara Ayaz tegang membatu memandangi dari jauh Ami yang sedang dijambak, dipukul, ditendang hingga terbatuk-batuk dan muntah darah. Ayaz tak mampu menolongnya. Kekuatan dan kekuasaan Mousa tak mampu ditembusnya. Sementara disisi lain, Istari menangis, teriak, memohon pada pamannya untuk menghentikan anak buahnya menyakiti Ami.
"Dia tidak bersalah, paman, jangan siksa dia,... kumohon lepaskan Ami, paman" teriaknya nyaris putus asa.
"Kesalahannya adalah masuk ke dunia kita dan menjadi penghalang bersatunya klan kita yang hanya bisa diwujudkan dengan menikahkan kamu dengan Ayaz" ujar Mousa pelan dan dingin.
"Hanya Ayaz yang bisa membuatku berhenti, atau perempuan itu mati dan kita berperang melawan klan Ayaz"
Istari terduduk lemas dan memucat. Ia tak ingin lagi melihat pertumpahan darah merobek ketenangan mereka. Ia tak ingin membayangkan porak porandanya tempat tinggal mereka. Itu sangat menyakitkan dan melelahkan. Belum lagi jika Ami sampai mati maka mereka juga akan berhadapan dengan entitas dari dimensi yang berbeda dengan mereka. Istari mengepalkan tangannya berusaha menguatkan tekad dan bangkit pergi. Ia harus bertemu Ayaz.
"Kamu harus membuat keputusan sekarang, nak"Â
Ayah Ayaz berdiri memandangi puteranya dengan sedih. Ia berusaha membujuk puteranya untuk mengalahkan ego sendiri demi orang banyak. Bukan saja dari klannya dan klan Mousa tapi juga orang-orang dari dunia yang berbeda dengan mereka, yang selama ini sudah hidup damai berdampingan.
Ayaz bersandar lemas di kursinya. Dipejamkannya mata. Setitik air mata yang sedari tadi mengambang  jatuh di pipinya. Tak tega Ia melihat siksaan yang dialami Ami. Hatinya perih, jiwanya marah, tapi sungguh tak berdaya untuk melawan.