Literasi vs. Misinformasi: Mengapa Pendidikan Jadi Kunci untuk Melawan Hoaks?
Beberapa waktu lalu, dunia media sosial ramai membicarakan pernyataan guru sebagai "beban negara". Reaksi warganet pun beragam, mulai dari kritik pedas hingga hujatan. Padahal, jika disimak secara utuh, pernyataan tersebut merupakan hasil AI. Fenomena ini bukan hanya sekadar salah paham, melainkan cerminan dari tantangan besar yang kita hadapi: rendahnya literasi digital dan kemampuan berpikir kritis.
Pemerintah Terlibat dalam Pendidikan: Bukan Beban, tapi Investasi
Mengapa pernyataan yang dipelintir itu begitu mudah memicu amarah? Karena secara naluriah, kita tahu bahwa pendidikan adalah sektor vital. Dalam materi kebijakan keuangan publik, ada alasan fundamental mengapa pemerintah terlibat aktif dalam pendidikan.
Pertama, pendidikan dianggap sebagai barang publik (public goods) yang memiliki eksternalitas positif. Artinya, manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh individu yang bersekolah, tetapi juga seluruh masyarakat, seperti terciptanya tenaga kerja terampil dan warga negara yang kritis. Tanpa intervensi pemerintah, masyarakat cenderung mengonsumsi pendidikan dalam jumlah kurang dari yang optimal bagi kesejahteraan sosial.
Kedua, pemerintah bertujuan mencapai keadilan sosial. Alokasi dana besar, termasuk gaji guru, adalah bentuk komitmen untuk memastikan setiap warga negara memiliki akses setara terhadap pendidikan berkualitas, tanpa terhalang oleh kondisi ekonomi.
Singkatnya, dana yang dialokasikan negara, termasuk untuk gaji guru, bukan cuma pengeluaran biasa. Dana itu adalah investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa. Jadi, guru itu bukan 'beban,' tapi fondasi penting yang tugasnya mencerdaskan kita semua, sesuai dengan cita-cita negara.
Rendahnya Literasi dan Masalah Pendidikan di Indonesia
Kasus hoaks akibat dari AI ini menunjukkan masalah serius dalam sistem pendidikan kita. Selama ini, kita terlalu fokus pada hal-hal seperti pemerataan dan dana, tapi lupa kalau hasil akhirnya juga perlu transparansi dan dievaluasi. Kejadian misinformasi ini membuktikan bahwa pendidikan kita masih kurang dalam melatih literasi media dan kemampuan berpikir kritis.
Pendidikan yang Kritis: Apakah kurikulum kita sudah melatih siswa untuk memverifikasi informasi dan tidak mudah terprovokasi oleh berita provokatif?
Penguatan Peran Guru: Apakah guru sebagai ujung tombak pendidikan telah dibekali dengan kemampuan untuk mengarahkan siswa dalam menghadapi arus informasi yang deras di media sosial?