Kota masa depan digambarkan seperti sirkuit raksasa yang berkilau dari ketinggian. Gedung kaca menjulang dengan dinding yang bisa berubah warna mengikuti cuaca. Jalanan dipenuhi kendaraan otonom yang meluncur senyap, sementara drone sibuk berkeliling di langit mengantar barang dan menjaga lalu lintas kota. Di ruang publik, layar hologram menghadirkan iklan, berita, dan hiburan yang tak pernah berhenti seolah kota ini tak memberi ruang bagi keheningan. Warga dikepung arus informasi, berjalan cepat dengan tatapan tertuju pada layar pribadi masing-masing. Teknologi hadir di setiap sudut, membentuk ritme kehidupan yang serba terhubung dan nyaris tanpa jeda. Aktivitas sehari-hari berjalan nyaris tanpa hambatan: dari belanja kebutuhan, memesan kendaraan, hingga mengakses layanan kesehatan, semuanya hanya butuh sentuhan jari atau perintah suara. Kota ini terasa begitu efisien dan canggih. Dari luar, pemandangan itu terlihat nyaris sempurna---sebuah dunia yang dulu hanya hidup dalam cerita fiksi ilmiah, kini menjelma nyata di depan mata.
Di balik gemerlapnya, kota masa depan menyimpan sisi yang muram. Sungai-sungai yang dulu jernih kini berubah menjadi aliran pekat karena tercemar limbah industri. Udara yang semestinya segar justru terasa berat oleh lapisan polusi yang kian menebal. Bahkan langit malam kehilangan bintang-bintangnya, tertutup cahaya neon yang terus menyala tanpa henti. Alam seolah menjadi korban dari kemajuan yang dibanggakan. Di sisi lain, jurang sosial melebar semakin dalam. Mereka yang mampu membeli akses teknologi menikmati hidup serba otomatis, dari rumah pintar hingga kendaraan pribadi yang dikendalikan sistem cerdas. Sementara itu, kelompok lain harus puas berada di pinggiran, terpinggirkan oleh perubahan. Banyak di antara mereka kehilangan pekerjaan karena digantikan mesin. Kota ini akhirnya menampilkan kemunafikan wajah ganda: di satu sisi indah dan memukau, di sisi lain rapuh, rusak, dan penuh ancaman yang tak bisa diabaikan.
Kota adalah magnet peradaban. Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN, 2022) menunjukkan bahwa lebih dari 56% populasi dunia kini tinggal di perkotaan, dan angka itu diprediksi melonjak menjadi 68% pada 2050. Bayangkan, dua dari tiga orang akan hidup di kota! Pertumbuhan ini bukan hanya soal jumlah gedung dan penduduk, tapi juga tentang meningkatnya kebutuhan energi, air, pangan, dan ruang. Di satu sisi, teknologi menjanjikan solusi: sensor cerdas yang mengatur lampu lalu lintas, kecerdasan buatan yang mengoptimalkan distribusi listrik, hingga robot yang membersihkan jalanan. Namun, di sisi lain, jejak ekologis kota terus membengkak. World Bank (2023) mencatat bahwa kota-kota global menyumbang lebih dari 70% emisi karbon dunia, meski hanya menempati kurang dari 3% permukaan bumi. sebuah masalah yang saling bertentangan dan tidak mudah diselesaikan.
Mengintip Masa Depan dari Kantong Doraemon
Sekarang mari kita bermain-main dengan imajinasi. Bayangkan Doraemon benar-benar hadir di tengah kehidupan kita. Dengan senyum ramah dan suara lembutnya, ia membuka kantong ajaib yang legendaris itu. Dari dalam, ia mengeluarkan sebuah benda berkilau bernama Cermin Waktu. "Mari kita lihat masa depan kota kalian," katanya sambil menyerahkan alat itu. Cermin itu tidak seperti kaca biasa; permukaannya berpendar lembut, seolah menyimpan rahasia puluhan tahun ke depan. Saat kita menatapnya, perlahan muncullah gambaran kota masa depan yang penuh dengan warna, cahaya, dan gerak.
Di dalam cermin, kota itu terlihat futuristik. Kendaraan terbang melayang di langit bagaikan burung besi, bergerak cepat namun teratur tanpa suara bising mesin. Gedung-gedung menjulang, namun bukan sekadar tumpukan beton. Dindingnya dipenuhi tanaman, membentuk hutan vertikal yang menyejukkan pandangan sekaligus menjaga kualitas udara. Di jalan-jalan dan ruang publik, robot berseliweran dengan cekatan, membantu manusia dalam pekerjaan rumah tangga, pelayanan umum, hingga perawatan kesehatan. Semuanya tampak harmonis, seolah teknologi, alam, dan manusia akhirnya menemukan keseimbangannya.
Awalnya semua tampak menakjubkan. Cermin Waktu menampilkan kota yang gemerlap, penuh inovasi, dan seolah bebas dari masalah. Doraemon tersenyum sambil berkata, "Lihatlah, teknologi bisa membuat hidup lebih mudah." Di permukaan, gambaran itu memang sempurna: kendaraan terbang berjejer rapi di udara, gedung hijau menjulang dengan taman hidroponik yang memanjakan mata, dan robot membantu manusia tanpa lelah. Kita nyaris percaya bahwa masa depan hanya berisi kenyamanan dan kemajuan.
Namun, ketika cermin itu diperbesar, bayangan lain mulai terlihat. Di balik pusat kota yang indah, banyak warga hanya mampu menatap dari kejauhan. Mereka tak punya cukup uang untuk membeli akses kendaraan terbang atau tinggal di menara hijau yang sejuk. Hidup mereka terjebak di pinggiran kota yang padat, kotor, dan luput dari perhatian. Wajah Doraemon berubah sendu. "Alat canggih saja tidak cukup," katanya lirih. "Kota masa depan hanya akan benar-benar indah jika teknologi berjalan beriringan dengan keadilan."
Dengan Cermin Waktu, kita juga diajak melihat wajah lain dari kota masa depan. Sungai-sungai yang dulu menjadi nadi kehidupan kini berubah muram, dipenuhi limbah industri yang menumpuk tanpa henti. Air yang semestinya memberi kesegaran justru menjadi sumber penyakit. Di balik gemerlap kota digital, berdiri pusat data raksasa yang menderu siang malam. Suaranya monoton, tapi daya yang disedot luar biasa besar, seakan jantung kota berdetak hanya untuk menjaga aliran informasi tetap hidup.
Doraemon lalu menunjuk pada layar lain yang menampilkan angka-angka mencemaskan. International Energy Agency (IEA, 2023) memperingatkan bahwa konsumsi energi pusat data bisa meningkat hingga tiga kali lipat pada 2030. Bayangan itu membuat kita terdiam. Semua kenyamanan yang ditawarkan teknologi ternyata punya harga yang harus dibayar mahal yang jarang diperhitungkan mulai dari energi yang terkuras, lingkungan yang menanggung beban kehancuran, dan ekosistem yang perlahan terkikis demi menopang dunia serba digital. Dengan nada lirih, Doraemon bergumam, "Inilah ongkos kemajuan yang manusia sering abaikan."
Tiga Jalan dari Cermin Masa Depan
Cermin Doraemon menampilkan tiga jalan yang bisa dipilih manusia. Jalan pertama adalah kota super canggih yang serba efisien. Semua diatur oleh teknologi: lampu lalu lintas menyesuaikan arus kendaraan, listrik dibagi dengan sistem pintar, dan semua layanan publik bisa diakses hanya dengan sentuhan jari. Tapi di balik kecanggihan itu ada keresahan yang tampak sangat jelas, kesenjangan sosial makin besar, data pribadi dikuasai perusahaan besar, dan manusia seolah hanya jadi bidak kecil dalam mesin raksasa.
Jalan berikutnya yang tampak di cermin adalah kota reformasi berkelanjutan. Pemandangan ini membuat Doraemon kembali tersenyum. Di sini, teknologi tidak berdiri sendiri, melainkan berjalan beriringan dengan kebijakan yang adil. Transportasi ramah lingkungan bisa dinikmati semua orang, ruang terbuka hijau terbentang luas, udara bersih kembali terasa, dan setiap warga memiliki kesempatan yang sama untuk tinggal di rumah yang layak. Kota seperti ini terasa penuh kehidupan, jauh dari kesan kaku sebuah mesin. Teknologi hadir sebagai mitra, bukan penguasa, sementara manusia bergerak bersama untuk menjaga keseimbangan dengan alam. Harmoni antara inovasi dan keadilan membuat tempat ini bukan hanya nyaman dihuni, tetapi juga memberi harapan bagi masa depan yang lebih baik.
Jalan ketiga yang tampak di dalam cermin adalah kota krisis dan adaptasi. Pemandangan yang tersaji terasa suram dan penuh tekanan. Perubahan iklim memukul kota dengan keras---banjir datang silih berganti, suhu ekstrem membuat kehidupan sehari-hari tak lagi nyaman, dan polusi semakin mencekik, baik di udara, air, maupun tanah. Warga yang tinggal di sana seperti hidup dalam keadaan darurat tanpa akhir, berusaha bertahan di tengah lingkungan yang kian rapuh. Teknologi memang masih ada, tetapi bukan untuk membawa kemajuan besar. Ia hanya hadir sebagai solusi sementara, Â mesin penyaring air untuk sungai yang tercemar, penyejuk udara darurat untuk mengatasi panas berlebihan, atau dinding penahan banjir yang cepat usang. Semua itu membuat kota terlihat seperti pasien sakit yang hanya dirawat gejalanya, tanpa benar-benar disembuhkan sampai akar-akarnya. Doraemon menatap dalam diam sebelum akhirnya berbisik, "Seandainya manusia mau belajar lebih cepat dari kesalahan mereka, jalan ini tidak perlu menjadi kenyataan."
Secercah Harapan dari Kantong Ajaib
Doraemon kembali merogoh kantong ajaibnya. Dari sana, ia mengeluarkan sebuah gulungan bercahaya yang disebutnya Peta Pilihan Masa Depan. Dengan nada tenang namun penuh penekanan, ia berkata, "Masa depan bukanlah sesuatu yang kaku dan tak bisa diubah. Ia tidak ditulis sekali jadi seperti takdir, melainkan terus bergerak, bergantung pada pilihan yang kalian ambil hari ini."
Saat peta itu terbentang, muncul gambaran sebuah kota yang berbeda dari sebelumnya. Bukan kota yang sesak oleh polusi atau terkekang oleh mesin, melainkan kota padat-hijau yang ramah bagi pejalan kaki, di mana jalanan dipenuhi pohon rindang, jalur sepeda aman, dan ruang publik hidup sebagai tempat berkumpul warga. Energi bersih menjadi tulang punggung kehidupan. matahari, angin, dan sumber terbarukan lain menopang aktivitas tanpa harus merusak bumi. Udara segar dijaga lewat regulasi ketat, sehingga setiap tarikan napas tidak lagi bercampur asap kendaraan.
Lebih jauh, peta itu juga memperlihatkan perumahan yang inklusif dan estetik, di mana setiap orang, tanpa memandang status ekonomi, bisa tinggal dengan layak dan nyaman. Di samping itu, tata kelola data diatur secara transparan, sehingga kota pintar tidak berubah menjadi kota pengawasan yang mengekang warganya. Semua itu membentuk sebuah visi kota masa depan yang bukan hanya modern, tetapi juga manusiawi dimana tempat teknologi, alam, dan keadilan sosial berjalan beriringan. Kita membayangkan kota dengan gedung yang ditutupi taman vertikal, di mana anak-anak bisa bermain tanpa takut polusi, pekerja tidak khawatir kehilangan pekerjaan karena ada pelatihan ulang, dan warga tidak diperlakukan sebagai angka statistik belaka. Doraemon tersenyum lebar, "Jika kalian mau, semua ini bisa nyata. Teknologi bukan musuh, tapi juga bukan penyelamat tunggal. Yang menentukan adalah hati dan keberanian manusia."
Antara Khayalan dan Kenyataan
Membayangkan kota masa depan selalu menghadirkan perasaan yang bertolak belakang. Justru di titik inilah imajinasi punya peran besar. Berkhayal bersama Doraemon bukan hanya hiburan anak-anak, melainkan latihan untuk melihat kemungkinan masa depan dengan lebih jernih. Kantong ajaib dan alat-alatnya hanyalah simbol, bahwa manusia sebenarnya punya banyak pilihan. Masa depan tidak datang begitu saja, melainkan dibentuk oleh keputusan-keputusan kecil yang kita buat hari ini. Kota bisa berkembang menjadi mesin raksasa yang dingin dan tanpa jiwa, atau justru menjelma sebagai taman besar yang ramah, hangat, dan penuh kehidupan. Semuanya bergantung pada arah yang kita pilih bersama.
Hadirnya Doraemon dalam khayalan ini sebenarnya membawa pesan yang sangat sederhana, tapi begitu dalam bahwa teknologi secanggih apa pun tidak akan pernah bisa menggantikan kebijaksanaan manusia. Kantong ajaib dengan segala alat luar biasanya memang terlihat menakjubkan, seolah mampu menyelesaikan segala masalah. Namun, semua itu akan percuma jika manusia masih dikuasai sifat rakus, abai pada lingkungan, dan hanya mementingkan diri sendiri.
Sebaliknya, bahkan alat yang tampak sederhana pun bisa membawa perubahan besar, asalkan dipakai dengan hati yang benar. Jika niatnya untuk menyejahterakan semua orang, untuk menjaga bumi, dan untuk menciptakan kota yang adil bagi setiap warganya, maka teknologi kecil ataupun besar akan menemukan makna sejatinya. Pesan ini mengingatkan kita bahwa masa depan tidak hanya ditentukan oleh seberapa maju mesin yang kita buat, tetapi juga oleh seberapa bijak kita menggunakannya.Maka, kota masa depan sejatinya adalah cermin dari pilihan kita hari ini. Apakah kita akan terus membangun gedung-gedung tinggi tanpa memikirkan siapa yang tinggal di bawahnya? Apakah kita akan mengejar efisiensi sambil mengorbankan keberlanjutan? Atau justru kita memilih untuk merancang kota yang lebih adil, hijau, dan inklusif? Doraemon mungkin hanya tokoh imajinasi, tetapi cermin yang ia tunjukkan adalah gambaran nyata dari konsekuensi pilihan kita.
Mungkin, di tengah kilauan gedung kaca yang menjulang, lalu-lalang drone di langit, dan layar hologram yang tak henti menampilkan cahaya, harapan terbesar justru berada pada hal yang paling sederhana: ingatan manusia bahwa bumi ini adalah rumah bersama yang harus dijaga. Sebab tanpa kesadaran itu, semua kecanggihan hanya akan menjadi topeng rapuh yang menutupi kerusakan.
Doraemon pada akhirnya bisa kembali ke abad 22 dengan kantong ajaibnya, meninggalkan kita dengan segala pilihan yang ada. Namun, tanggung jawab tidak ikut dibawa pergi olehnya. Justru kita yang hidup di sini, di masa kini, yang menentukan ke arah mana kota-kota masa depan akan melangkah. Apakah ia akan tumbuh menjadi sebuah utopia penuh harapan, atau justru terjerumus menjadi distopia yang menyesakkan semua ada di tangan manusia hari ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI