Mohon tunggu...
Amalia DheaFadila
Amalia DheaFadila Mohon Tunggu... Mahasiswa

Suka baca buku, hunting makanan dan review film

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jakarta dalam Pusaran Urbanisasi dan Sejarah Kota Dunia

25 Agustus 2025   16:55 Diperbarui: 25 Agustus 2025   17:35 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jakarta dalam Pusaran Urbanisasi dan Sejarah Kota Dunia

Jakarta sejak lama menjadi magnet bagi banyak orang. Kota ini tidak hanya sekadar pusat pemerintahan dan ekonomi, tetapi juga simbol mimpi akan perubahan hidup yang lebih makmur, harapannya. Setiap tahun, ribuan orang datang dengan harapan bisa meraih kesempatan yang lebih baik. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020 mencatat bahwa Provinsi DKI Jakarta memiliki sekitar 10,56 juta jiwa penduduk, dan menariknya, lebih dari 36,8 persen di antaranya adalah penduduk hasil migrasi, alias mereka yang lahir di luar Jakarta. Itu artinya, hampir 4 dari 10 orang yang kita temui di jalanan ibu kota adalah perantau.

Fenomena urbanisasi tidak berhenti pada data pertumbuhan penduduk, melainkan menjadi faktor penting yang membentuk kondisi sosial dan fisik Jakarta saat ini.. Mereka datang dari berbagai daerah-Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera, hingga Sulawesi dengan motivasi berbeda. Ada yang ingin melanjutkan pendidikan, mencari pekerjaan, membangun usaha, atau sekadar ikut keluarga. Bagi banyak orang, Jakarta dianggap tempat utama untuk menentukan masa depan mereka.. Tidak berlebihan jika ada ungkapan populer: siapa yang berhasil di Jakarta, ia bisa berhasil di mana saja.

Tapi di balik gemerlap gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan, Jakarta juga menampilkan sebuah paradoks. Semakin banyak urban datang, semakin tinggi pula persaingan kerja. Lapangan kerja memang tersedia lebih banyak dibanding kota lain, tetapi tidak sebanding dengan derasnya arus perantau. Akibatnya, banyak yang harus puas bekerja di sektor informal dengan penghasilan minim dan tanpa aganya kepastian. Bagi pendatang, hidup di kamar kos kecil, kerja tanpa henti dari pagi hingga malam, serta rasa rindu pada rumah adalah bagian dari cerita sehari-hari.

BPS juga mencatat, arus migrasi masuk ke Jakarta terus stabil sejak era 1970-an, meski sempat melambat saat pandemi. Data Sensus Penduduk 2020 menunjukkan bahwa migrasi ke Jakarta masih didominasi usia produktif, yakni 15-39 tahun. Fenomena ini menegaskan bahwa urbanisasi ke Jakarta tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan tempat tinggal, melainkan juga dengan hadirnya energi muda yang menginginkan perubahan. Meski demikian, Jakarta berperan sebagai ruang uji terhadap ketahanan mental, pertarungan ambisi, dan ketekunan mereka dalam .

Fenomena tersebut menghasilkan suatu dinamika sosial yang memiliki karakteristik tersendiri. Di satu sisi, perantau memberi energi baru bagi pertumbuhan kota: mereka menjadi pekerja, pedagang, sopir ojek online, barista kafe, atau tenaga profesional di kantor-kantor besar. Tanpa kehadiran mereka, roda perekonomian Jakarta mungkin tidak berputar secepat sekarang. Namun di sisi lain, arus urbanisasi juga menimbulkan masalah kepadatan, kemacetan, polusi, hingga krisis perumahan. Jakarta berfungsi tidak hanya sebagai destinasi urbanisasi, tetapi juga sebagai ruang kontestasi antara aspirasi individu dan realitas sosial-ekonomi.

Ada cerita yang selalu terulang setiap kali musim kelulusan tiba. Ribuan anak muda, setelah menuntaskan sekolah menengah atau perguruan tinggi di daerah, menyiapkan diri untuk "hijrah" ke Jakarta. Mereka datang dengan koper, tas besar, dan semangat membara. Harapannya sederhana: memiliki pekerjaan tetap, gaji yang layak, dan hidup yang lebih baik. Namun kenyataannya tidak semua orang bisa bertahan. Bagi sebagian perantau, Jakarta adalah kota yang terlalu kejam. Biaya hidup tinggi, ritme kerja yang menekan, serta kesenjangan sosial yang terasa lebar sering membuat mereka akhirnya pulang kembali ke kampung halaman, membawa pelajaran bahwa ibu kota tidak selalu ramah.

Kesulitan yang dihadapi di Jakarta tidak menjadikannya kota yang gagal. Justru hal itulah yang membuatnya menarik: selalu ada peluang yang bisa dicoba. Ada yang tersandung, ada yang bangkit lagi, ada pula yang tak henti mencoba hingga akhirnya berhasil. Banyak cerita sukses bermula dari para pendatang yang dulu datang dengan tangan kosong, lalu perlahan membangun karier, usaha, dan jejaring sosial. Dengan segala keterbatasannya, Jakarta tetap menjadi ruang terbuka bagi siapa pun yang berani bermimpi..

Kalau kita melihat sejarah Eropa, kisah pergulatan kota-kota besar di sana bisa menjadi cermin untuk memahami dinamika Jakarta. Pada tahun 1000 M, kota terbesar di Eropa adalah Crdoba di Spanyol. Saat itu kota ini berada di bawah kekuasaan Kekhalifahan Umayyah Andalusia. Crdoba dikenal sebagai kota yang maju dengan peradaban Islam yang gemilang, memiliki perpustakaan besar, masjid megah, serta menjadi pusat ilmu pengetahuan, filsafat, dan sains. Kehidupan di sana sangat kosmopolitan, jauh lebih modern dibanding kota-kota lain di Eropa pada masa itu.

Beberapa abad kemudian, sekitar tahun 1500, giliran Constantinople (sekarang Istanbul) yang menjadi kota terbesar. Letaknya yang strategis di antara Eropa dan Asia membuatnya jadi pusat perdagangan internasional. Setelah jatuh ke tangan Kesultanan Ottoman pada tahun 1453, Constantinople berubah menjadi ibu kota megah dengan arsitektur khas, seperti Hagia Sophia dan Istana Topkapi, sekaligus menjadi pusat politik dan kebudayaan Islam di Eropa.

Memasuki tahun 1700, peran kota terbesar beralih ke Paris. Kota ini berkembang pesat sebagai pusat politik dan budaya Prancis. Paris terkenal sebagai kota seni, sastra, dan filsafat, tempat lahirnya banyak pemikir besar Eropa. Kehidupan masyarakatnya mulai bertransformasi dengan gaya hidup modern khas kota besar, dan Paris pun semakin dikenal sebagai simbol peradaban Eropa Barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun