Mohon tunggu...
Amak Syariffudin
Amak Syariffudin Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya Sekedar Opini Belaka.

Mantan Ketua PWI Jatim tahun 1974

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sanksi Pelanggaran Jangan Dilanggar

8 November 2020   19:24 Diperbarui: 9 November 2020   02:51 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ANTARA FOTO) (Teguh Prihatna) (Kompas.com)

Munculnya sikap ragu-ragu dari beberapa kalangan di masyarakat, mempertanyakan apakah benar dilaksanakannya  sanksi disiplin dari Mendagri terhadap ASN (Aparat Sipil Negara) melalui pelaporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang ketahuan berpihak dan mendukung salah satu pihak calon yang maju dalam Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) 2020/2021.

Masalahnya, ada keberpihakan yang terang-terangan berupa dukungan dalam berkampanye. Akan tetapi yang bisa rancu adalah dukungan tersembunyi berupa dukungan suara/pendapat ataupun materiil. Mengingat, bahwa terdapat 420 lokasi Pilkada se Indonesia, sehingga benar-benar kepercayaan untuk melakukan pengawasannya adalah Bawaslu disetiap lokasi Pilkada itu yang harus netral dan mandiri.

Petugas-petugasnya harus jeli dan berani bersikap berdasar kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah. Mereka benar-benar bisa menentukan umpamanya bentuk dukunganpejabat atau ASN yang dalam bermacam bentuk. Mulai dari pernyataan agar memilih calon  bersangkutan sampaipun bisa berbentuk materiil, seperti dana ataupun peralatan.

Sementara ini hasil laporannyanya lebih dari 65 kasus atau puluhan pejabat ASN atau orang-orang pemegang posisi dalam pemerintahan daerah yang dilaporkan Bawaslu setempat karena ternyata tidak bersikap netral.

Yakni mendukung salah satu calon kepala daerah yang terkait dengan dirinya, atau apakah calon itu dari sesama partai politiknya, atau ada hubungan kekerabatan ataupun kawan dekat. Lebih jahat lagi, karena berharap kalau calon itu menang menjadi kepala daerah dan wakilnya, maka akan ada pembagian rejeki atau proyek.

Kita bisa memahami betapa "beratnya" menjadi anggota Bawaslu untuk bertindak benar-benar harus tegas dan netral. Sebab, tidak lepas dari tekanan batin yang datang dari pimpinan daerah setempat yang merasa berkepentingan memenangkan calonnya.

Hal itu dikarenakan, bahwa kalaulah Bawaslu benar-benar bertindak dan melaporkan pelanggaran sanksi ke Pusat dan kemudian Kementerian Dalam Negeri menjatuhkan sanksinya pada ASN yang melanggar itu, maka bisa saja anggota Bawaslu setempat dijadikan sasaran kebencian ataupun kemarahan pada kelompok ASN bersangkutan.

Karenanya, para anggota Bawaslu dimasing-masing tempat haruslah orang-orang yang bersikap adil, tegas dan tegar. Bisa saja laporannya dianggap kurang akurat, seperti contoh ketika Gubernur Jawa Timur, Khofiffah Parawanza, menjelaskan tentang beberapa ASN-nya disanksi karena tidak netral. 

Katanya, dua orang sudah pensiun yang dilakukan bulan Oktober lalu. Artinya boleh mendukung calonnya. Mungkin saja  sewaktu ASN bersangkutan melakukan duklungan itu, petugas Bawaslu mengetahui dia masih menjabat dan sebagai ASN aktif.

Lalu kasus sanksi berupa peringatan kepada Pj. Walikota Makassar yang sudah dinyatakan dimedia massa bahwa dia diberi sanski Kemendagri, namun dengan santai menjawab media massa, bahwa sampai saat itu (4/11) dia belum menerima pemberitahuan mengenai sanksi terhadap dirinya itu.

Kemudian kasus Walikota Surabaya, Rismaharani, dilaporkan ke Polisi karena teguran dan permintaan agar menemui Bawaslu tidak digubrisnya. Kasusnya: mendukung terang-terangan Calon Walikota dari orangnya sendiri, yang menurut kabar angin, tangan kanan dalam melakukan berbagai penyalahgunaan anggaran.

Pendek kata, masih banyak lika-liku pelaksanaan sanksi kepada ASN yang melanggar ketentuan disiplin Kemendagri karena tidak netral dalam kasus Pilkada serentak 2020. Peraturannya sudah ada dan sudah benar. Namun ketika kasusnya muncul, maka banyak pihak yang bisa membelokkan atau malahan mengabaikan sanksi pelanggaran yang ditetapkan itu.

Masalahnya, bisa disebabkan "sungkannya" Bawaslu diprovinsi,kabupaten atau kota bersangkutan karena tekanan kekuasaan pejabat tinggi setempat atau parpol kuat disitu, sehingga tidak bernyali untuk melaporkan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak penekan tersebut.

Atau laporan Bawaslu berjalan, namun pemegang kekuasaan setempat yang mencalonkan diri selaku petahana atau orang separtainya yang mencalonkan diri, akan mendiamkan ataupun mencari jalan-keluar untuk menunda ataupun menghindarkan sanksi pelanggaran tersebut.

Pada hakekatnya, membangun pendidikan politik yang baik, hendaknya dapat membangun kepercayaan masyarakat pada kejujuran dalam berpolitik yang dilakukan oleh ASN ---terutama yang memegang jabatan penting. Pendek kata, mampu membina kepercayaan publik, bahwa berpolitik tidak selalu berbuat tidak jujur!

Dalam kasus Pilkada ini,  jangan sampai ketentuan berupa sanksi yang ditetapkan dalam Undang Undang dan Peraturan Mendagri itu tidak dilaksanakan alias dilanggar karena melindungi diri atau melindungi calon peserta Pilkada dari kelompoknya. Alias melanggar UU dan Permen tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun