Mohon tunggu...
alya ayu s ayu
alya ayu s ayu Mohon Tunggu... Mahasiswa

badminton

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mahasiswa di Tengah Tekanan : Menjaga Kesehatan Mental di Dunia Yang Terus Berlari

12 Oktober 2025   18:31 Diperbarui: 12 Oktober 2025   18:31 3
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menjadi mahasiswa sering kali dianggap sebagai masa paling indah dalam hidup. Banyak orang berkata, "Nikmati masa kuliahmu, itu waktu terbaik yang tak akan terulang." Namun, kenyataannya tidak selalu seindah itu. Di balik kebebasan yang tampak, tersimpan tekanan besar yang kadang tak terlihat oleh mata. Mahasiswa kini bukan hanya dituntut untuk cerdas secara akademik, tetapi juga harus kuat mental menghadapi dunia yang terus berlari cepat.

Setiap hari, mahasiswa dihadapkan pada tuntutan yang datang dari berbagai arah: tugas kuliah menumpuk, ekspektasi orang tua yang tinggi, tuntutan ekonomi, hingga perbandingan sosial yang tak henti-hentinya di media sosial. Di antara semua itu, banyak yang kehilangan satu hal penting---keseimbangan mental. Mereka tersenyum di depan teman-teman, tetapi di kamar asrama atau kos, mereka menatap langit-langit dalam diam, mempertanyakan apakah semua perjuangan ini benar-benar berarti.

Masalah kesehatan mental di kalangan mahasiswa kini menjadi isu serius di banyak kampus. Laporan dari berbagai survei menunjukkan meningkatnya angka stres, kecemasan, bahkan depresi di kalangan mahasiswa. Faktor penyebabnya pun kompleks---mulai dari tekanan akademik, masalah finansial, hingga kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru. Mahasiswa sering merasa harus selalu tampil baik, takut dianggap gagal, atau khawatir tidak bisa memenuhi ekspektasi orang tua. Tidak jarang, perasaan itu berkembang menjadi kecemasan yang berlarut-larut, kehilangan semangat belajar, hingga munculnya gejala burnout.

Sayangnya, stigma terhadap masalah mental masih kuat. Banyak mahasiswa yang merasa malu atau takut untuk bercerita. Mereka berpikir, "Aku cuma capek, nanti juga hilang," padahal di dalamnya ada jeritan hati yang memerlukan pertolongan. Akibatnya, mereka menumpuk tekanan dalam diam. Ada yang melampiaskan dengan menarik diri dari lingkungan sosial, ada pula yang memaksa diri terus aktif meski sebenarnya sudah di ambang batas.

Perguruan tinggi sebenarnya bisa menjadi tempat yang tidak hanya mendidik secara akademik, tetapi juga membentuk kesehatan mental mahasiswanya. Sayangnya, sistem pendidikan yang masih menekankan hasil akhir sering membuat proses dan kesejahteraan emosional terabaikan. Layanan bimbingan konseling yang ada di banyak kampus pun kerap belum maksimal. Mahasiswa sering kali tidak tahu harus ke mana saat sedang merasa tidak baik-baik saja. Padahal, dukungan emosional di lingkungan kampus dapat menjadi penyelamat bagi banyak mahasiswa yang sedang berjuang.

Dosen, organisasi kampus, dan teman sebaya bisa memiliki peran besar dalam membangun ekosistem yang lebih peduli. Hal sesederhana mendengarkan tanpa menghakimi, atau memberi ruang aman bagi teman untuk bercerita, bisa jadi sangat berarti. Karena terkadang, yang dibutuhkan bukan nasihat panjang, tetapi sekadar kehadiran yang tulus.

Kesehatan mental bukan sesuatu yang bisa diserahkan kepada orang lain semata. Mahasiswa perlu belajar mengenali dirinya sendiri---mengenali batas, memahami emosi, dan berani mengambil jeda ketika lelah. Banyak yang menganggap "self-care" hanya soal liburan atau skincare, padahal maknanya jauh lebih dalam. Self-care adalah keberanian untuk menolak hal yang membuat diri kewalahan, keberanian untuk meminta bantuan, dan kemampuan untuk menerima diri apa adanya, meski belum sempurna.

Menjaga pola tidur, makan dengan cukup, mengelola waktu belajar, dan menyediakan waktu untuk kegiatan yang disukai bisa menjadi bentuk sederhana menjaga mental. Selain itu, membangun jaringan sosial yang sehat juga penting---berteman dengan orang yang suportif, bukan yang membuat kita merasa kurang.

Di tengah arus persaingan yang makin ketat, mahasiswa perlu diingatkan bahwa nilai A tidak selalu lebih penting dari kesehatan mental. Bahwa gagal dalam satu ujian bukan berarti gagal sebagai manusia. Hidup adalah perjalanan panjang yang penuh pasang surut, dan setiap langkah kecil tetap berarti. Menjadi mahasiswa yang utuh bukan berarti selalu kuat tanpa celah, tetapi berani mengakui ketika sedang rapuh. Karena di situlah letak kemanusiaan.

Jika kamu seorang mahasiswa yang sedang merasa lelah, ingatlah: kamu tidak sendirian. Tidak apa-apa jika hari ini kamu hanya ingin istirahat. Tidak apa-apa jika kamu belum sekuat yang orang lain harapkan. Dunia akan tetap berjalan, tetapi kamu juga berhak berhenti sejenak, bernapas, dan memulihkan diri. Karena menjaga kesehatan mental bukan kelemahan, melainkan bentuk cinta terbesar kepada diri sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun