Mohon tunggu...
Aluzar Azhar
Aluzar Azhar Mohon Tunggu... Penyuluh Agama Honorer

Berbuat baik kok malu, jadi weh ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Orang Hebat

21 November 2016   04:01 Diperbarui: 27 November 2016   08:00 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di awal interaksi kedua dengan Kompasiana, saya menulis: www.kompasiana.com Tema artikel ini adalah sebuah ajakan untuk berlomba kebajikan alias berbuat baik.

Namun karena berbagai faktor, berbuat baik itu tidak jadi atau kalaupun terjadi ‘tidak sempurna’. Misalnya, di artikel itu, saya memberi contoh: jadi mu’adzin mendayu, jadi khatib kelu, atau jadi imam kikuk.

Apakah karena kita orang ‘Timur’ yang tawadlu’ (rendah hati) sehingga takut pamer (riya’)? Mungkin, kita keliru memaknai tawadlu’ dan imbasnya kita tidak melaksanakan kewajiban individual (‘ain) sebagaimana Hadis: “Jika melihat kemungkaran di depan mata, ubah dengan (1)  tangan, (2) bila tak mampu, dengan lidah, dan (3) bila tak mampu juga, dengan hati; ini selemah-lemahnya iman” (HR Muslim dari Abu Said al-Khudri).

Untunglah ada yang telah melaksanakan kewajiban sosial (kifayah) seperti menjadi mu’adzin hebat, khatib hebat, atau imam (shalat) hebat; dan kita perhatikan, mereka butuh pembiasaan alias jam terbang untuk ‘hebat’.

Sementara itu, kejahatan terorganisasi (sindikat atau mafia) seperti ‘wajib’ ada di setiap lini kehidupan kita; dan bukan rahasia lagi di dalamnya bercokol oknum orang baik, sebutlah orang jahat yang nyaru jadi aparat; boleh jadi, aparat itu memang orang baik tapi karena sistemnya tidak baik, karena ada kesempatan, karena ada iming-iming, atau karena ada keluarganya yang diancam orang jahat asli, maka aparat itu jadi orang jahat.

Menurut atsar (jejak) ‘Ali bin Abi Thalib r.a., kejahatan terorganisasi akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisasi. Ini memang sudah menjadi rahasia umum. Seperti zaman (kebaikan) semakin canggih, kejahatan pun semakin canggih. Berarti, usaha menghidupkan (organisasi) kebaikan vis a vis kejahatan itu adalah kerja abadi, selama bumi masih berputar.

Sesungguhnya kembali ke kita, tinggal keberpihakan kita, apakah akan condong kepada ‘bisikan’ malaikat atau sebaliknya ke setan? Mungkin, sebagai makhluk termulia, kita tidak butuh ‘bantuan’ dua makhluk ini.

Yang Hebat

Sandingkan profesi dengan kata ‘hebat’ seperti presiden hebat, guru hebat, pengusaha hebat, dokter hebat, atau penulis hebat. Tentu ada kriteria hebat tersendiri untuk setiap profesi ini.

Khusus penulis hebat seperti filosof Jerman JW von Goethe  dan dramawan Inggris William Shakespeare, keduanya penulis-penyair hebat. Puisi Goethe  berpengaruh bagi puisi Bapak Spiritual Pakistan Mohamad Iqbal (“Pesan dari Timur”); bahkan Shakespeare rangking ke-36 dari 100 tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah (Michael H. Hart, 1978), ternyata, menurut ‘isu’, keduanya gay.

Yang ingin saya katakan, kriteria ‘hebat’ hendaknya berdasarkan bukti bahwa apa yang ditulis sinkron dengan kehidupan sehari-harinya. Studi biografi tentu didukung data yang sahih-andal. Kalau tidak, disebut penulis hebat  itu sekadar pintar bermain kata, tanpa fakta. Ini tentu sangat dibenci Tuhan (QS 61: 3).

Kita begitu takjub dengan drama “Romeo dan Juliet” karya Shakespeare yang menjadi prototipe cinta sejati anak manusia. Tetapi jika benar Shakespeare itu gay bin homo; waduh, kita masygul!

Berarti, untuk mengenal seseorang yang masih hidup secara objektif, minimal tiga hari. Karena selama tiga hari, biasanya kita saling ‘jaim’ (jaga imej), kita bersikap sebagai tuan rumah  atau tamu. Namun pasca tiga hari itu, kita akan mengetahui ‘belang’ atau perilaku asli (kebiasaan) masing-masing.

Suami Hebat

Dalam budaya patriarkat yang mayoritas berlaku di Indonesia, bahkan di dunia, ‘orang hebat’ itu dinisbahkan kepada pria. Seiring perkembangan zaman seperti tuntutan emansipasi wanita, jargon yang muncul adalah “Di balik suami yang hebat, ada istri yang hebat mendukung.”

Di Timur-tradisional, bolehlah jargon tersebut berlaku. Ini pun jika sang suami legowo mengaku bahwa dia tidak akan hebat jika tidak didukung istrinya yang sekadar ibu rumah tangga. Namun di Timur-modern, yang fenomenal ketika Megawati menjadi presiden dan Taufik Kiemas, suaminya, menjadi ketua MPR terdapat makna egaliter secara harfiah.

Yang kontemporer, kiranya Sri Mulyani yang di Indonesia dan di dunia terkenal, sedangkan suaminya legowo sebagai ‘anonim’. Yang mendunia tentu ketika Inggris dipimpin oleh Ratu Elizabeth II dengan Perdana Menteri The Iron Lady Margaret Thatcher, suami-suaminya siapa?

Kita bahas KK (kepala keluarga) yang di kita ‘harus’ diemban suami sekaligus sebagai ayah. Secara normatif, suami apalagi ayah itu mempunyai kewajiban terhadap istri dan anaknya. Sebutlah menafkahi keluarga.

Ada tren, istri juga bisa menjadi KK, bahkan sebenarnya istrilah yang menafkahi keluarga secara finansial karena kariernya cepat-melesat dibanding suaminya.

Sesungguhnya, saya tidak mempersoalkan siapa yang menjadi KK secara hukum positif. Tetapi menurut doktrin agama (Islam), suamilah yang menjadi imam. Tentu imam yang benar dan baik, bukan sekadar status. Doktrin ini harus diimani. Titik!

Jika fakta karier istri lebih hebat daripada suami; ini bukan masalah karena seperti karier suami—yang memang harus—lebih hebat daripada istri pun pokok masalahnya adalah siap/tidak menjadi istri dari suami yang hebat; pun sebaliknya, siap/tidak menjadi suami dari istri yang hebat?

Ketika siap, contoh konkret telah bermunculan seperti Megawati atau Sri Mulyani. Namun ketika tidak siap, muncullah masalah seperti suami tidak hebat dipaksa harus hebat ditambah istrinya pun tidak hebat mendukung. Yang terjadi suami ‘terpaksa’ korupsi biar disebut hebat oleh istrinya. Kalau tak punya jabatan, ‘terpaksa’ suami mencuri ayam atau menggandakan uang.

Nah, sesungguhnya siapa ‘orang hebat’ itu? Apakah The Great Alexander, manusia agung yang tumbang oleh seekor nyamuk? Ataukah  The Incredible Hulk, raksasa hijau yang mendadak berenergi karena privasinya atau rasa keadilannya terganggu?

Kesaksian saya menjelang umur setengah abad ini, orang hebat itu ialah manusia biasa yang menjadi teladan yang baik dan rahmat seluruh alam. Gaji atau honornya ‘hanya’ kasih sayang dalam kekeluargaan. Wa Allah a’lam.

Bandung, 21 November 2016.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun