Mohon tunggu...
Alsha Putri Ramadina
Alsha Putri Ramadina Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kolaborasi Lintas Sektor Pada Program Penanggulangan Stunting di Jawa Barat

11 Oktober 2025   04:24 Diperbarui: 11 Oktober 2025   04:24 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stunting pada anak 

Stunting atau gagal tumbuh pada anak merupakan salah satu permasalahan gizi kronis yang masih menjadi tantangan serius di Indonesia. Masalah ini bukan sekadar berkaitan dengan tinggi badan anak yang di bawah rata-rata, tetapi juga mencerminkan gangguan pada perkembangan otak, metabolisme, serta produktivitas di masa depan. Berdasarkan laporan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), prevalensi stunting nasional pada tahun 2024 masih berada di angka 21,5%, dengan Provinsi Jawa Barat menempati posisi penting karena jumlah penduduknya yang besar dan heterogenitas wilayahnya. Meski begitu, terdapat kabar menggembirakan: prevalensi stunting di Jawa Barat berhasil turun menjadi 15,9% pada tahun 2024 (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2024). Penurunan ini menandakan kemajuan signifikan dalam upaya kolektif pemerintah daerah bersama berbagai sektor dan pemangku kepentingan.

Namun, penurunan angka stunting bukanlah hasil dari kebijakan tunggal, melainkan produk dari kolaborasi lintas sektor yang kompleks. Upaya penanggulangan stunting di Jawa Barat melibatkan berbagai aktor seperti pemerintah pusat dan daerah, lembaga kesehatan, sektor swasta, organisasi masyarakat, akademisi, serta komunitas lokal. Kompleksitas tersebut menuntut adanya tata kelola yang adaptif dan koordinatif agar setiap pihak dapat berperan sesuai kapasitas dan tanggung jawabnya. hambatan dan tantangan yang masih muncul di lapangan. (Rabbani et al., 2025)

Pendekatan network governance menekankan pentingnya hubungan interdependen antaraktor dalam mencapai tujuan bersama. Tidak ada satu lembaga pun yang memiliki otoritas absolut dalam menangani permasalahan publik yang bersifat multidimensional seperti stunting. Sebaliknya, keberhasilan ditentukan oleh kemampuan setiap pihak untuk berkomunikasi, bernegosiasi, membangun kepercayaan, dan menciptakan koordinasi yang sinergis. Dengan kata lain, keberhasilan kebijakan publik dalam konteks ini bukan hanya ditentukan oleh desain program pemerintah, tetapi juga oleh bagaimana jejaring kolaborasi antaraktor bekerja dalam praktiknya. (Sahara et al., 2025)

Penanggulangan stunting di Indonesia memerlukan pendekatan kolaboratif lintas sektor, yang menekankan pentingnya hubungan yang kuat antar aktor dalam jejaring pengelolaan program. Menurut Rohmatulloh et al. (2025), pengentasan stunting harus didukung oleh tata kelola kolaborasi yang menyeluruh antar sektor untuk mencapai hasil yang berkelanjutan dan efektif. Pendekatan ini tidak hanya melibatkan sektor kesehatan, tetapi juga pendidikan, sosial, dan ekonomi, sehingga memungkinkan pengelolaan berbagai faktor risiko yang mempengaruhi stunting secara komprehensif.

Penanggulangan stunting di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, membutuhkan pendekatan kolaboratif lintas sektor untuk menangani persoalan yang kompleks dan multidimensional. Stunting bukan hanya persoalan kesehatan, tetapi juga terkait sosial, ekonomi, dan pendidikan. Oleh karena itu, kolaborasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan menjadi sangat krusial dalam meningkatkan efektivitas program pelayanan publik ini. Kerangka kebijakan nasional penanggulangan stunting sudah menegaskan bahwa masalah ini bersifat multidimensi dan wajib ditangani lewat kolaborasi lintas sektor. Perpres No. 72/2021 membentuk TPPS (Tim Percepatan Penurunan Stunting) dari pusat hingga daerah, menetapkan lima pilar Stranas, serta menggariskan peran lintas aktor kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial, dan sanitasi agar intervensi spesifik dan sensitif gizi berjalan serempak.

Membangun dan memelihara hubungan menjadi fondasi untuk terciptanya kepercayaan di antara berbagai pihak dalam jejaring kolaboratif. Menurut Nugraha (2025), dialog tatap muka serta pemahaman bersama antara pemangku kepentingan dalam Tim Percepatan Penurunan Stunting mampu menciptakan komitmen kolektif yang memperkuat kerja sama lintas sektor meskipun menghadapi tantangan koordinasi dan anggaran. Kolaborasi pentahelix di Jawa Barat yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, masyarakat, akademisi, dan media merupakan contoh keberhasilan membangun hubungan produktif guna menurunkan angka stunting.

Pertukaran informasi efektif sangat penting untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam jejaring. Saluran komunikasi terbuka dan mudah diakses memungkinkan semua pihak memahami tuntutan serta tanggung jawabnya dan menyesuaikan strategi secara dinamis (Situmorang, 2014). Sistem komunikasi terintegrasi mendukung penyebaran data kesehatan dan perkembangan program yang lancar di semua area implementasi. Koordinasi dan kolaborasi menjadi inti manajemen jejaring, mencakup pembagian tugas, sinkronisasi program, dan pencapaian tujuan bersama secara efisien dan efektif (P2DPT, 2024). Jawa Barat merefleksikan tata kelola kolaboratif yang melibatkan sektor kesehatan, pendidikan, dan sosial dalam merancang serta menjalankan kebijakan penanggulangan stunting (Agranoff & McGuire, 2001).

Pembagian peran jelas antar aktor jaringan meningkatkan efektivitas kerja sama. Agranoff dan McGuire menegaskan kesepakatan peran dan tanggung jawab mencegah tumpang tindih pekerjaan serta memperkuat akuntabilitas. Pemerintah provinsi sebagai koordinator utama di Jawa Barat mengharmonisasikan peran instansi sektoral dan pihak eksternal seperti perusahaan dan organisasi masyarakat dalam Gerakan Sehati. Pengembangan sumber daya, seperti peningkatan kapasitas, dukungan pendanaan, dan sumber daya manusia, menjadi aspek penting untuk keberlanjutan jejaring kolaborasi. Manajemen jejaring memungkinkan pengelolaan sumber daya secara sinergis sehingga kekuatan setiap pihak dapat dimaksimalkan untuk hasil optimal (P2DPT, 2024). Program pemberian makanan tambahan dan pendampingan gizi di berbagai daerah Jawa Barat mencerminkan pengelolaan sumber daya kolaboratif.

Kolaborasi lintas sektor dalam penanggulangan stunting di Jawa Barat menggambarkan penerapan konsep manajemen jejaring dalam pelayanan publik yang kompleks. Hubungan kuat, pertukaran informasi terbuka, koordinasi terintegrasi, pembagian peran tegas, dan pengembangan sumber daya menjadi pilar utama keberhasilan kolaborasi tersebut. Namun, tantangan seperti koordinasi anggaran, partisipasi masyarakat, dan komunikasi lintas sektor masih memerlukan perhatian guna meningkatkan efektivitas program secara berkelanjutan.

        

KESIMPULAN 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun