Oleh: Andy Laksmana Sastrahadijaya
Manusia biasanya membagi dirinya sendiri menjadi bagian fisik, jiwa, dan roh/nyawa. Ada yang menyederhanakannya menjadi jiwa-raga saja. Orang beriman berpegang teguh mengenai adanya roh sebagaimana yang ditulis dalam Kitab Sucinya, meskipun sains sampai tulisan ini dimuat belum pernah dapat membuktikan secara empiris saintifik mengenai keberadaan roh ini dan hubungannya dengan organisme jiwa-raga. Seperti biasanya, tulisan ini sama sekali tidak berbicara mengenai ‘roh’ karena ‘roh’ sudah termasuk ranah kepercayaan/keyakinan yang bersifat relatif, subyektif, dan pribadi.
Orang awam kebanyakan mengabaikan adanya si ego yang berkuasa atau mengaku berkuasa terhadap jiwa-raganya. Ego, seperti yang dapat dibaca dalam tulisan saya yang lalu, hanyalah sekumpulan pikiran dan perasaan yang telah mengristal sebagai penguasa palsu terhadap jiwa-raga orang yang bersangkutan. Tanpa menyadarinya, sebagian orang beriman yang mengira bahwa agama yang dianutnya itu adalah suatu “kebenaran”, mengelirukan egonya sendiri ini sebagai roh, dan menaati segala peraturan sistem kepercayaan yang dianutnya dengan melibatkan satuan jiwa-raga secara keseluruhan.
Karena pembebanpengaruhan sistem kepercayaan atau agamanya, sebagian ego yang mengira bahwa dirinya adalah penguasa sejati jiwa-raganya itu cenderung merendahkan apa-apa yang berhubungan dengan jiwa-raga itu seperti panca indera, sains, paham materialistis, dsb. Padahal pada kenyataannya, dari sejak otaknya menggerakkan pelupuk mata pada pagi hari dan memejamkannya lagi sewaktu ia tertidur pada malam harinya, seluruh kegiatan si ego melibatkan keseluruhan jiwa-raganya ini. Dan ia dengan sendirinya memanfaatkan hasil penemuan berbagai ilmu materialistis dalam kehidupannya sehari-hari. Kenyataan begini sering luput dari pengamatan dan pemikiran sebagian ego beriman ini. Bila pusat syaraf otaknya membuat usus besarnya tidak dapat BAB dua tiga hari saja, si orang beriman yang tidak konsekuen ini paniknya bukan main, ia akan menelan berbagai obat pencahar dan bila belum berhasil, ia pergi ke dokter, yang semuanya itu mengandalkan sains dan panca indera.
Agar tidak terjadi kesalahpengertian, penulis membatasi arti raga sebagai tubuh fisik dan jiwa sebagai ‘psike’ yang sering disinonimkan dengan ‘batin’, ‘kepribadian’, ‘personalitas’, dan sebagainya. Psike ini memiliki beberapa kemampuan, antara lain: daya pikir, daya rasa, daya mau, yang masing-masing secara berturut-turut menghasilkan pikiran, perasaan, dan kemauan atau kehendak. Jadi, kemelekatan atau keterikatan psikologis ialah kemelekatan/keterikatan yang bersifat psikologis (menyangkut psike) yang dialami oleh ego. Dengan kata lain, si ego ini melekat atau terikat pada sesuatu dengan melibatkan daya pikir, daya rasa, daya maunya, dan sebagainya. Kemelekatan ini membentuk kebiasaan yang semakin lama semakin tebal yang semakin sulit untuk dikikis habis; dan juga membentuk identitas bagi diri si ego, yang sering tanpa disadarinya. Misalnya ia melekat pada kebangsaannya ia akan mengatakan, “Saya orang Indonesia,” dan jika ia melekat pada jabatannya ia akan mengungkapkan identitasnya, “Saya gubernur DKI Jakarta,” dan jika ia (si ego) melekat/terikat pada agamanya, misalnya Islam, ia tanpa ragu mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang Muslim, dan biasanya suka menyebut dirinya sebagai orang beriman.
Kemelekatan ini terdiri atas dua jenis keterikatan: yang positif dan yang negatif. Kemelekatan positif antara lain ialah kemelekatan pada kenyataan atau fakta yang memberinya kemungkinan untuk menghayati hidup ini dengan sebaik-baiknya secara rasional. Contoh kemelekatan positif lainnya ialah kemelekatan pada segala hal yang bersifat teknis, misalnya, keterikatan seorang insinyur teknik sipil pada keterampilannya yang berdasarkan ilmu yang dipejarinya di universitas adalah positif dalam arti mampu menunjang nafkah keluarganya dengan bekerja mendirikan bangunan, bekerja sebagai pemborong yang membangun jembatan, dan sebagainya. Sebaliknya, kemelekatan negatif ialah kemelekatan atau keterikatan pada segala hal yang irasional, yang bersifat khayalan, spekulatif, kesimpulan ngawur, dsb. Kemelekatan ini bersifat negatif karena kebanyakan tidak memberi manfaat pada kehidupan sehari-hari satuan jiwa-raga yang bersangkutan. Misalnya, kemelekatan negatif terhadap ketahyulan dan keklenikan yang hampir selalu bersifat irasional jelas dapat menimbulkan hal-hal negatif seperti rasa takut dan pengharapan yang berlebihan dan sering tanpa dasar. Kemelekatan pada yang bersifat spekulatif seperti perjudian, perdagangan berjangka, dan sejenisnya sering sangat merugikan jiwa-raga yang bersangkutan. Kemelekatan pada kesimpulan ngawur (kesimpulan yang tanpa diuji, seperti sistem kepercayaan tidak pernah berubah sejak awal diluncurkannya, yang tidak pernah diuji dan dipertanyakan) jelas akan memberikan banyak komplikasi negatif dalam hidup organisme jiwa-raga yang bersangkutan.
Secara psikologis, kebanyakan kaum beriman atau kaum eksoteris keagamaan sangat melekat/terikat pada banyak hal yang berkenaan dengan: agama, dogma, ritual, nabi, kitab suci, entitas "Tuhan" versi kepercayaan/keyakinannya, guru, para "orang suci" atau yang dianggapnya suci atau ajarannya atau isi buku yg ditulisnya; dan berbagai otoritas 'populer' lainnya dalam bidang spiritualitas, filsafat, sains, dsb., dst., khusus yang berkenaan dengan agama tempat mereka berlindung dan mencari keamanan, baik di dunia ini maupun di alam “akhirat”. Suatu tindakan atau perlakuan berupa perkataan, tulisan, atau sikap terhadap atau pernyataan mengenai berbagai hal yang dilekatinya tersebut, atau yang menyangkut banyak hal yang dilekatinya itu, yang dipersepsinya sebagai serangan, akan menimbulkan reaksi negatif secara psikologis seperti timbulnya rasa marah, benci, tersinggung, mendongkol, sakit hati, dsb. Jika orang yang sangat melekat secara psikologis itu kebetulan membaca suatu artikel pendek dalam blog interaktif seperti Kompasiana, yang dipersepsinya sebagai tulisan yang menyerang berbagai hal yang dilekatinya secara psikologis itu, ia akan secara membabi buta membaca tulisan itu dengan penuh prasangka dan tanpa benar-benar mengerti isi tulisan itu ia akan segera menyerbu dengan pertahanan diri sepenuhnya, meracau “ngalor-ngidul” (ke sana ke mari) dalam komentarnya yang terkadang penuh dengan pernyataan tidak rasional dan pertanyaan yang tidak relevan. Setelah ada orang menjawab secara rasional baik secara singkat maupun dengan panjang-lebar, alih-alih memahami dan menanggapinya secara rasional, ia malah menanggapi balik dengan berbagai ‘argumen’ berbasis kepercayaan yang sebenarnya tidak mampu dipertahankannya dan tidak perlu dipertontonkan di depan forum UMUM multi-kepercayaan seperti Kompasiana ini. Begitulah kondisi orang yang secara kejiwaan sangat melekat pada ajaran agamanya, kondisi yang membuatnya menderita secara psikologis, meskipun sering diingkarinya sendiri. Sudah beberapa kekerasan ditimpakan pada orang atau pihak yang berani mengusik sekumpulan orang yang menderita kemelekatan psikologis ini, misalnya. Kita tentunya masih ingat novelis Salman Rusdhie dengan karya kontroversial berjudul ‘Satanic Verse” atau Ayat-Ayat Setan yang mendatangkan fatwa mati dari Ayatollah Khomeini (lihat video berdurasi 8 menit 38 detik yang ditayangkan dalam tautan ini), dan tentunya memori kita masih segar pada peristiwa dahsyat 9/11, ketika ada orang fanatik menabrakkan pesawat terbang pada gedung kembar WTC (Ini adalah tayangan videonya yang sengaja dibuat ‘slow-motion’ dan ini adalah simulasi 3Dnya.) Apakah yang mendorong semua perbuatan tidak masuk akal ini? Kemelekatan psikologis!
Kemelekatan demikian, jika dibiarkan atau tidak disadari oleh orang yang bersangkutan, akan tumbuh sebagai hijab yang semakin tebal yang membuatnya tidak mampu melihat sesuatu secara rasional sebagaimana adanya.
Orang beriman yang sangat melekat secara psikologis begini biasanya juga mengalami kemelekatan psikologis negatif pada banyak hal yang bersifat irasional, misalnya membenci dan memusuhi semua ego lain yang memiliki kemeletakan terhadap sistem kepercayaan yang berlainan dengannya. Sejarah telah mencatat banyak kekerasan berbasis kemelekatan negatif terhadap agama. Perang antar agama ini sangat mengerikan karena masing-masing pihak membantai musuhnya dengan penuh kebencian dan rasa tidak takut mati. Catatan sejarah juga mengungkapkan banyak peristiwa terorisme karena kemelekatan negatif pada ajaran agama, dan contohnya masih banyak lagi.
Pada hakikatnya orang yang sangat melekat secara psikologis yang mengakibatkan kenegatifan ini juga sangat menderita batinnya pada saat ini dengan segala keterkungkungan dan keserbaterbatasannya sebagai orang yang sangat terikat dan terbelenggu. Namun ia selalu menghibur diri dengan membayangkan pahala surgawi abadi yang selalu dilamunkannya pada saat ini dan sebagai orang yang sangat beriman ia selalu mengalami kengerian ketika membayangkan kemungkinan penyiksaan dirinya secara abadi di tempat penganiayaan yang bernama neraka itu. Ketika ia berbuat sesuatu yang dianggapnya telah melanggar perintah “Tuhan”nya atau perintah agamanya, ia terkadang melamun seberapa berat bobot itu akan memberatkan timbangannya di alam pengadilan akhirat nanti, jika ia merasa berbuat kebajikan ia menghitung-hitung pahala yang akan diperolehnya nanti. Ia hidup pada saat ini namun pikirannya selalu tertambat pada masa lalu dalam bentuk penyesalan dan kenangan pahit dan melayang-layang pada masa depan dalam bentuk lamunan dan khayalan yang menghabiskan waktu dan energinya yang sangat berharga pada saat ini. Daya pikir dan daya rasanya tidak dapat berfungsi dengan normal karena tertutup kemelekatannya pada sesuatu yang selalu menghijabnya. Rasionalitasnya tidak dapat bekerja dengan sewajarnya karena dipenuhi dengan berbagai prasangka yang ditimbulkan oleh keterikatannya pada sistem kepercayaan yang dianutnya. Ia, sesungguhnya, adalah orang yang sangat menderita batinnya, namun tanpa pernah mau mengakuinya.Alamak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI