Mohon tunggu...
Aldi Labrador
Aldi Labrador Mohon Tunggu... mahasiswa

penulis jelek nan buruk

Selanjutnya

Tutup

New World

Media Sosial dan Dunia Simulasi Kontemporer

2 Juli 2025   09:48 Diperbarui: 2 Juli 2025   09:47 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
New World. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Sosial Media: Dunia Simulasi yang Mengaburkan Realitas

Generasi kita tengah menghadapi zaman yang berlari kencang—kadang terasa ugal-ugalan—terutama sejak revolusi digital semakin merasuk ke tiap aspek kehidupan. Pandemi yang sempat melanda dunia hanya mempercepat lajunya. Dan di tengah pusaran digital ini, media sosial menjadi medan paling dominan, bukan hanya untuk berbagi cerita, tapi juga untuk membentuk (atau memalsukan?) identitas.

Pernahkah kita bertanya, "Yang mana sebenarnya diri kita?" atau "Apakah yang kita tampilkan di media sosial adalah versi asli dari diri kita, atau hanya citra yang dibentuk oleh algoritma?" Pertanyaan-pertanyaan semacam itu, yang awalnya terdengar remeh, sebenarnya menyimpan keresahan eksistensial yang dalam. Untuk membedahnya, saya ingin mengajak pembaca menengok konsep Jean Baudrillard tentang simulakra dan hiperrealitas.

Citra, Tanda, dan Realitas Buatan

Baudrillard menyebut "simulakra" sebagai realitas buatan—sebuah representasi yang tak lagi merujuk pada kenyataan, tapi menciptakan kenyataannya sendiri. Media sosial, seperti Instagram dan X (dulu Twitter), adalah panggung simulakra yang sempurna. Di X, kita berlomba adu opini, terkesan kritis dan cerdas. Di Instagram, kita tampilkan momen-momen terbaik, dengan filter dan sudut kamera yang sudah dirancang sedemikian rupa. Dan tentu, angka likes serta jumlah followers kerap dijadikan tolok ukur nilai diri.

Tapi siapa sebenarnya yang mengendalikan citra itu? Apakah kita yang menciptakan persona digital tersebut, ataukah sistem sosial media yang memanipulasi kita untuk memproduksi citra tertentu? Jika dunia nyata dan dunia maya benar-benar berbeda, mengapa cuitan bisa membuat seseorang dipenjara, atau video viral memicu tawuran antarpelajar? Realitas virtual telah menyeberang ke dunia nyata, mengaburkan batas di antaranya—sebuah keadaan yang disebut Baudrillard sebagai hiperrealitas.

Manusia dalam Cengkraman Simbol dan Konsumsi

Di era ini, konsumsi bukan lagi tentang kebutuhan, melainkan tentang simbol. Kita tidak hanya membeli barang, tapi juga membeli "gaya hidup". Sepasang sneakers atau jaket trendi bukan lagi sekadar benda, tapi lambang status sosial. Dan media sosial berperan besar dalam menyebarluaskan simbol-simbol tersebut.

Coba bayangkan, Anda menonton reels di Instagram tentang "outfit cowok gaul", lalu membeli seluruh isi konten itu. Seminggu kemudian tren berganti, dan demi menjaga "label gaul", Anda harus mengikuti lagi tren baru. Di sini, konsumerisme tidak lagi didorong oleh kebutuhan, tapi oleh tekanan untuk tampil sesuai standar simbolik yang berubah-ubah. Kita dikurung dalam siklus konsumsi citra tanpa akhir.

Era Post-Truth dan Ekstasi Komunikasi

Lebih parah lagi, informasi kini datang bertubi-tubi namun kehilangan kedalaman. Kita hidup di era post-truth, di mana emosi lebih kuat dari fakta. Sosial media tak hanya menjadi tempat berbagi, tapi juga alat propaganda paling efektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten New World Selengkapnya
Lihat New World Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun