Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Jokowi Semakin Loyo dalam Periode Kedua

26 Oktober 2019   10:32 Diperbarui: 21 Februari 2020   16:40 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri, dikembangkan dari DetikNews

Kita tahu semua bahwa Presiden Jokowi sudah mengumumkan nama dan jumlah Menteri Kabinet Indonesia Maju (KIM). Pada hari Rabu itu, 23 Oktober 2019, juga sudah diumumkan empat nama pejabat tinggi negara setingkat menteri kabinet. Kemarin, Jum'at, 25 Oktober 2019, Jokowi juga sudah mengumumkan nama dan jabatan Wakil Menteri Kabinet itu. Ada 12 orang. Itu jumlah yang besar mengingat jumlah keseluruhan pejabat setingkat menteri kabinet sekarang ada 50 orang. 

KIM dengan 34 kementerian negara itu saja sudah terlalu besar. Terlalu besar misalnya jika dibandingkan dengan beberapa negara seperti Amerika Serikat yang hanya memiliki 16 kementerian negara dan jumlah itu pun sudah termasuk wakil presiden dan jaksa agung. Tiongkok dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang berlipat kali lebih besar dari Indonesia juga hanya memiliki 26 kementerian negara dan Jepang yang merupakan negara kepulauan seperti Indonesia dengan kegiatan sosial ekonomi yang juga berlipat kali lebih besar dari Indonesia hanya memiliki 28 kementerian negara.

Bukan itu saja. KIM dipergemuk, seperti disampaikan diatas, dengan pengangkatan 12 orang wakil menteri. Sangat mengejutkan sebab ini kejadian pertama bukan saja di Era Reformasi sekarang tetapi dalam keseluruhan sejarah Kemerdekaan 74 tahun Indonesia.

Delivery Jokowi saat ini banyak mengecewakan publik. Hal yang sama juga dirasakan oleh penulis. Penulis merasa Jokowi tertelingkung untuk mewujudkan niat mulianya agar "setiap rupiah uang negara harus benar-benar digunakan untuk rakyat."

Betapa tidak demikian karena semangkin gemuk kementerian negara semangkin besar jumlah uang negara yang perlu dihabiskan, dan, hasil yang dicapai gitu-gitu saja. 

Lihat itu nilai APBN terus meningkat dari tahun ke tahun dan PDB Indonesia bukan saja mandeg tetapi bahkan menurun. Jumlah orang miskin de facto tidak turun-turun dan ada tendensi meningkat. 

Ekspor Indonesia anjlok, neraca berjalan (CA) terus mengalami defisit, investasi asing kabur ke banyak negara tetangga, serta, tidak dapat dipungkiri jumlah utang negara akan terus menumpuk dan entah kapan dapat diturunkan jika NKRI tetap exist hingga 2030. 

Coba kita lihat beberapa kementerian negara. Yang gampang saja dulu seperti Kementerian Pemuda dan Olah Raga yang baru-baru ini menterinya kena OTT KPK karena diduga terlibat dengan skandal pengucuran uang hibah ke KONI dan kegiatan olah raga lainnya. 

Kemenpora yang memiliki empat orang Staf Ahli Menteri dan Empat Deputi dalam aspek legal memiliki dua tugas utama yaitu memberdayakan dan mengembangkan pemuda dan olah raga. Kedua tugas ini masih sangat abstrak dan belum operasional. Selain itu, hal-hal yang terkait dengan pemuda banyak tumpang tindihnya dengan beberapa kementerian negara yang lain.

Dalam aspek tugas pemberdayaan dan pengembangan olah raga, Kementerian ini sederhananya dan sebetulnya ditugaskan agar Indonesia berjaya di berbagai ajang kompetisi olah raga bukan saja yang berskala regional tetapi juga yang berskala internasional atau dunia. Hal yang terpenting untuk mencapai prestasi olah raga di berbagai ajang tersebut sebetulnya adalah dengan penyaluran dana yang mencukupi untuk klub-klub olah raga. 

Untuk tahun 2020, Kemenpora mendapatkan uang APBN sebesar Rp1,7 triliun. Namun ironis nya,  berdasarkan pengalaman pribadi penulis di Kementrian Keuangan RI, uang itu sebagian besar dihabiskan untuk kegiatan operasional pejabat dan pegawai Kemenpora. Ini berarti, jumlah uang yang dikucurkan untuk klub-klub olah raga tersebut akan menjadi sangat sedikit. 

Misalnya saja untuk cabang olah raga badminton. Juara-juara dunia yang mengharumkan Indonesia disini sebagian besar, jika tidak hampir seluruhnya, digodok oleh klub rokok Jarum Kudus. Tidak sepeser pun uang Kemenpora yang dikucurkan untuk klub ini.

Coba kita lihat lagi yang gampang lainnya yaitu Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang mendapatkan uang APBN sebesar Rp5,5 triliun untuk tahun 2020. Tugas utama kementerian negara ini dalam aspek legal terkait dengan pengembangan destinasi dan industri pariwisata. Ini dapat kita sederhanakan menjadi sebatas meningkatkan kunjungan wisatawan (turis) dalam dan luar negeri. Sama hal nya seperti Kemenpora, jumlah uang negara yang dibelanjakan disini juga dalam hitungan tirilunan rupiah setiap tahun dan terus meningkat dari tahun ke tahun.

Hasilnya? ya gitu-gitu saja. Kunjungan Wisman bukan saja stagnan tetapi cenderung menurun dan Indonesia kalah jauh dalam merebut pangsa pasar turisme di kawasan Asia Tenggara apalagi di kawasan Asia Pasifik. Bagaimana jika Kemenpora dan Ekonomi Kreatif dihapuskan saja? 

Kunjungan Wisman dan Wisnu tidak akan terpengaruh. Kunjungan Wisnu lebih disebabkan oleh inovasi dan kreativitas Pemda setempat. 

Sedangkan kunjungan Wisman lebih dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi global dan kegiatan aplikasi travel serta pembangunan dan inovasi berbagai destinasi wisata oleh perusahaan-perusahaan properti.

Sekarang kita meningkat ke Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. De facto, pekerjaan utama masing-masing kementerian ini sebetulnya hanya menerbitkan izin-izin dan lisensi. Ini mencakup izin impor dan izin investasi.

Digabungkan dan dirampingkan saja? Sangat feasible tetapi sayangnya ini hanya sebatas niat mulia untuk mempertanggungjawabkan setiap peser uang negara yang dihabiskan oleh kementerian negara. Ini menjadi tidak feasible sebab jika dilakukan maka bagi-bagi menteri dan wakil menteri akan menjadi berisik sekali. 

Virus bagi menteri dan wakil menteri serta direksi BUMN ini kelihatannya akan terus berjalan post Jokowi 2024. Ini sangat paradoksial dengan Mimpi Indonesia Emas 2045 Jokowi. Ini bahkan menjadi nightmare Indonesia lenyap 2030.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun