Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Akankah Ada Mobilisasi Massa Anti-Revisi UU KPK?

11 September 2019   20:27 Diperbarui: 12 September 2019   13:41 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: edited dari Id.Pinterest.com

KPK akan terbongsai. Terbongsai dalam arti KPK tidak memiliki kapasitas yang memadai lagi untuk melakukan OTT dan kegiatan penindakan korupsi dan gratifikasi yang lainnya.  Akhirnya, nasib KPK akan sama seperti BPKP di tahun 1990an dulu.

Kesimpulan bahwa KPK akan terbongsai atau mati suri dalam beberapa hari lagi itu disebabkan beberapa pertimbangan sebagai berikut. Pertama, seperti yang kita ketahui semua, seluruh fraksi di DPR sudah menyetujui draf Revisi UU KPK tahun 2002 itu. Kedua, Presiden Jokowi banyak ngelesnya jika ditanya tentang revisi termaksud. Misalnya, Jokowi mengatakan belum lihat draf revisi tersebut dan baru akan mempelajarinya. Dengan demikian, harapan publik agar Presiden Jokowi tidak mengirim surat persetujuan kepada DPR untuk melanjutkan pembahasan revisi termaksud, sulit atau bahkan mustahil akan terwujud. 

Perkembangan terkini menunjukan bahwa Presiden betul akan mengirimkan surat (supres) yang menandakan Pemerintah dan DPR sah untuk membahas draf revisi termaksud. Pernyataan Jokowi yang dikutip oleh Kompas.com, klik disini, adalah:

"Nanti kalau surpres kita kirim, besok saya sampaikan. Nanti materi-materi apa yang perlu direvisi.

Paling terkini, beberapa detik yang lalu DetikNews.com menyatakan bahwa Presiden Jokowi sudah melayangkan Supres termaksud. Klik disini.

Memang betul ada pernyataan Jokowi disini bahwa revisi itu jangan mengurangi independensi KPK. Namun, ini masih pernyataan yang bersifat umum dan politis.

Pernyataan ini tidak secara eksplisit menyentuh isu penyadapan dan isu dewan pengawas, yang sangat riuh dibicarakan oleh media, Sosmed,  dan para pengamat, misalnya. Selain itu, Jokowi juga tidak menyinggung satu pun dari 10 permasalahan draf revisi UU KPK yang dipublikkasikan oleh KPK dan penulis singgung pada butir keempat dibawah ini.

Wapres Jusuf Kalla juga mengatakan beberapa substansi penting dari draf revisi tersebut akan disetujui oleh Pemerintah, klik disini. Itu misalnya pembentukan Dewan Pengawas.

Di sisi lain, banyak pihak termasuk Komisioner KPK sendiri, Alexander Marwata, menyatakan bahwa keberadaan Dewan Pengawas tersebut akan berujung jadi batu sandungan pekerjaan KPK.

Ketiga, menurut Kompasianer Lea Catteleya, klik disini, Jokowi tidak begitu banyak menyinggung isu pemberantasan korupsi dalam pidato kenegaraan 16 Agustus yang lalu.

Masih menurut Lea, Jokowi juga pernah mengatakan bahwa pengendalian korupsi sebaiknya tidak terlalu fokus lagi dengan kegiatan penindakan. Mungkin yang dimaksud kegiatan penindakan itu adalah seperti yang dilakukan oleh KPK sekarang dengan brand image OTT. Dengan kata lain, senjata Cakra Pamungkas OTT KPK akan menjelma seperti keris pusaka saja.

Butir ketiga ini mengandung sebagian besar dari semangat revisi UU KPK. Dalam revisi ini, sesuai dengan pernyataan Jokowi bahwa tidak perlu fokus lagi dengan tugas-tugas penindakan, semangatnya adalah KPK ditugaskan untuk melakukan kegiatan edukatif dan preventif. 

Ironisnya, menurut Almizan53, klik disini, KPK bukanlah lembaga pemerintah yang tepat untuk melakukan kegiatan edukatif dan preventif termaksud. Masih menurut Almizan53, Kementerian Keuangan dan Kementerian PAN RB adalah dua instansi negara yang paling tepat untuk melakukan tugas-tugas edukatif dan preventif tersebut.

Keempat, gerakan perlawanan publik atas draf revisi UU KPK itu kurang begitu bergema. Memang pegawai dan institusi KPK menyerukan perlawanan atas revisi termaksud. Misalnya, website KPK, klik disini, menyatakan ada 10 permasalahan besar dari draf revisi UU KPK itu. Ada juga suara penolakan dari LIPI, klik disini.

Namun itu hanya ditandatangani oleh sekitar 146 civitas LIPI. Ada juga protes dari beberapa akademisi termasukPeneliti LIPI, Syamsuddin Haris, klik disini. Kelompok akademisi lain juga menyuarakan Anti Revisi UU KPK. Ini misalnya, disuarakan oleh civitas Fakultas Ilmu Politik Undip, Semarang, klik disini.

Bagaimana dengan civitas akademika yang lain seperti UI, UGM, ITB, Unpad, Trisakti, Unika Atmajaya, UKI, dan lain-lain yang getol turun ke jalan? Rasanya mereka tidak akan turun ke jalan ya.

Walhasil, protes-protes tersebut bak pepatah "Anjing Menggonggong Kafilah Jalan Terus." Mereka tidak cukup kuat untuk membatalkan substansi pokok revisi UU KPK yang diinisiasi oleh DPR tersebut. Selain itu, kelompok-kelompok dan orang-orang termaksud hanya mewakili sebagian kecil dari populasi masing-masing. 

Sebagai perbandingan, coba kita lihat demo Anti UU Ekstradisi di Hongkong. Demo ini berhasil membatalkan UU itu karena dilakukan oleh massa demo yang besar dan berlangsung terus menerus, demo berjilid-jilid kata orang kita, selama sekitar empat bulan sejak 9 Juni 2019 dan tuntutan itu dikabulkan baru pada tanggal 4 September 2019.

Demo pertama yang dilakukan pada tanggal 9 Juni itu diikuti oleh sekitar satu juta orang. Demo-demo berikutnya banyak yang berakhir dengan kerusuhan terutama yang dilakukan pada tanggal 12 Juni 2019. CNBC Indonesia, klik disini.

Demo Hongkong, CNBC Indonesia
Demo Hongkong, CNBC Indonesia
Sayangmya, demo/protes Anti Revisi UU KPK tidak akan menyerupai demo-demo di Hongkong itu. Seperti sudah dijelaskan diatas belum terlihat adanya petunjuk awal akan terjadinya gelombang demonstrasi besar-besaran baik dari kalangan  mahasiswa, akademisi, dan elemen-elemen masyarakat yang lain.

Ini menurut penulis bersumber dari fakta bahwa kegiatan OTT KPK dan kegiatan KPK secara keseluruhan hanya menebang sebagian kecil dari pohon-pohon busuk yang tumbuh di lahan yang busuk. Memang pohon busuk itu tumbang tetapi pohon busuk yang lain segera akan tumbuh kembali.

Coba tengok berapa banyak kasus Gubernur/Walikota/Bupati yang terjaring OTT KPK. Tengok juga hal yang serupa untuk anggota DPR, DPRD, dan berbagai pejabat negara dan BUMN.

Apakah korupsi dan gratifikasi mereda di instansi-instansi tersebut? Apakah pelayanan umum membaik dan/atau uang negara dapat diselamatkan setelah para pejabat tersebut dijebloskan ke dalam penjara? Rasanya tidak.

Sekarang tinggal pada seberapa besar niat Presiden Jokowi untuk mendukung gerakan Anti Korupsi melalui tindakan edukatif dan preventif. Ini dapat kita dan/atau pantau pada momen pengangkatan Menteri Kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin sebentar lagi.

Akankah ada penugasan khusus dari Jokowi kepada Menteri Keuangan dan Menpan RB untuk menyiapkan agenda edukatif dan preventif Anti Korupsi termaksud. Kita tunggu saja walaupun jangan terlalu berharap.

lihat juga: Dua Ujung Yang Tidak Nyambung, Capim, dan, Revisi UU KPK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun