Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dua Ujung yang Tidak Nyambung, Capim, dan Revisi UU KPK

8 September 2019   17:05 Diperbarui: 9 September 2019   10:05 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dengan editan, Mice Cartoon di Suara Rakyat Merdeka

Terpaan badai terus bergemuruh ke lembaga anti rasuah Indonesia, KPK. Belum tuntas adanya beberapa Calon Komisioner (Capim) KPK bermasalah yang disodorkan ke DPR, kini secara mengejutkan DPR ketok palu atas draft revisi UU KPK tahun 2002. Menurut website KPK, klik disini, ada 10 permasalahan draf revisi UU KPK itu, yaitu:

  1. Independensi KPK terancam
  1. Penyadapan dipersulit dan dibatasi
  1. Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR
  1. Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi
  1. Penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung
  1. Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria
  1. Kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas
  1. Kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan
  1. KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan, dan
  1. Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas

Disini jelas sekali ada kehendak DPR untuk melemahkan otoritas penindakan KPK. Tugas utama KPK semula yang diatur dengan UU tahun 2002 itu lebih bersifat represif, penindakan, sedangkan tugas KPK menurut draft revisi UU itu lebih ke Dua Sula dari Trisula pengendalian korupsi yang lain yaitu Sula Preventif (pencegahan) dan Sula Edukatif (Pendidikan).

Masalahnya jadi ribet karena disamping draf revisi itu jelas melemahkan tugas represif KPK dengan brand image drama OTT yang ditunggu head lines media dan rakyat banyak, pengajuan nama 10 orang Capim (Komisioner) KPK ke DPR saat ini masih bersandar pada tugas-tugas represif KPK terdahulu. Tidak satu pun dari 10 nama tersebut memiliki rekam jejak yang tangguh dalam bidang pencegahan dan pendidikan anti korupsi. Coba kita lihat 10 nama tersebut, klik disini untuk info lebih terurai, seperti dibawah ini.

1. Alexander Marwata, Komisioner KPK

Latar belakang pendidikan akuntansi dan hukum. Latar belakang pekerjaan adalah BPK dan dan hakim sebelum menjadi Komisioner KPK periode 2015 - 2019.

 2. Firli Bahuri, Anggota Polri

Beliau adalah perwira tinggi Polri dan sejak 20 Juni 2019 menjadi Kapolda Sumatera Selatan. Sebelumnya Irjen Pol ini pernah menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK. 


3. I Nyoman Wara, Auditor BPK

I Nyoman Wara adalah auditor utama investigasi di BPK. 

4. Johanis Tanak, Jaksa

Saat ini Beliau ditugaskan sebagai sebagai Direktur Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung.  Sebelumnya, Johanis Tanak adalah Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. 

5. Lili Pintauli Siregar, Advokat

Putra daerah Tapanuli Selatan ini merupakan seorang advokat dan punya kantor advokat sendiri. Selai itu, Beliau pernah menjadi Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Jabatan ini pernah dipegang dalam dua periode mulai dari 2008-2013 dan 2013-2018.  

6. Luthfi Jayadi Kurniawan, Dosen

Sosok Capim KPK nomor enam ini berlatar belakang dosen di Universitas Muhammadiyah Malang. Disamping menjadi dosen dalam bidang Ilmu Kesejahteraan Sosial dari Universitas Muhammadiyah Malang , Beliau juga dikenal sebagai aktivis anti korupsi dan pendiri Malang Corruption Watch.

7. Nawawi Pomolango, Hakim

Sosok Capim KPK nomor tujuh ini mengawali kariernya sebagai hakim pada tahun 1992 di PN Soasio Tidore, Kabupaten Halmahera Tengah. Hingga tahun 2005 jabatan hakim terus disandang pada beberapa PN di Sulawesi dan Kalimantan.

Lantas pada 1996, ia dipindah tugaskan sebagai hakim di PN Tondano, Sulawesi Utara. Lima tahun kemudian, ia dimutasi sebagai hakim PN Balikpapan dan pada 2005 dimutasi lagi ke PN Makassar. Nawawi bertugas sebagai hakim di PN Jakarta hingga 2017 dan kemudian ditugaskan ke PN Denpasar hingga saat ini.

8. Nurul Ghufron, Dosen

Nurul merupakan Dosen Unej (Universitas Negeri Jember) dan saat ini menjabat sebagai dekan Fakultas Hukum. 

9. Roby Arya B, PNS Sekretariat Kabinet

Capim KPK nomor sembilan ini adalah Asisten Deputi Bidang Ekonomi Makro, Penanaman Modal dan Badan Usaha Sekretariat Kabinet.  

10. Sigit Danang Joyo, PNS Kementerian Keuangan.

Last but least, Sigit Danang Joyo adalah ASN pada instansi pemerintah dengan skala remunerasi tertinggi. Jabatan yang dipercayakan saat ini adalah Kepala Subdirektorat Bantuan Hukum, Kementerian Keuangan. Ini jabatan setingkat Eselon III.

Berdasarkan data korupsi yang ada sejauh ini, korupsi di Indonesia terkait dengan APBN, APBD dan Dana Desa, Jual Beli Jabatan Pemerintahan, BUMN, dan Perizinan. Lebih jauh lagi, korupsi APBN, APBD, dan BUMN sebagian besar terkait dengan kegiatan-kegiatan pembelian (sisi pengeluaran anggaran pemerintah/BUMN) walaupun ada juga yang terkait dalam tahap proses persetujuan DPR atau persetujuan DPRD. 

lihat juga: Menagih Janji Menteri Keuangan Sri Muljani, klik disini.

Korupsi jual beli jabatan pemerintahan terkait dengan Tata Kelola Pemerintahan. 

Lihat juga: Sekilas Budaya Tata Kelola Organisasi Bersih Kementerian Keuangan, klik disini.

Sedangkan korupsi perizinan umumnya lebih terkait dengan kegiatan dan/atau kebijakan di bidang investasi dan perizinan.

lihat juga, misalnya: Empat Fakta OTT terkait Impor Bawang Putih, klik disini.

Sejauh ini penulis belum dapat mengakses, jika ada, sikap dan/atau karya-karya dan/atau modul-modul pencegahan korupsi yang pernah mereka publikasi dan/atau mereka suarakan. Penulis juga, belum pernah mendengar , jika ada, dari salah seorang Capim tersebut yang menekankan bahwa kegiatan pencegahan dan pendidikan anti korupsi jauh lebih penting dari kegiatan represif OTT yang dilakukan sejauh ini.

Menariknya, Jokowi, menurut Kompasianer Lea Catlleya Pro Pengendalian Korupsi berbasis Model Preventif dan Edukatif. Lea mengatakan:

Saya terganggu kalimat presiden Jokowi yang katakan ukuran keberhasilan KPK bukan pada jumlah tersangka tapi skala pendidikan anti korupsi. Wadoooow. Tak heran Kompas.com tanggal 5 September 2019 menulis judul "KPK Dilahirkan oleh Mega, Mati di Tangan Jokowi?" 

Lebih miris lagi, adalah sangat logis untuk mengatakan bahwa mind set para Capim KPK tersebut adalah OTT. Nyatanya, jika mereka dapat disetujui oleh DPR, mereka lebih ditugaskan untuk melakukan kegiatan Preventif dan Edukatif. Ini langkah awal yang tidak sesuai dengan harapan semula dan untuk itu ini dapat merupakan mimpi buruk bagi mereka sebab kegiatan preventif dan edukatif sepih dari pemberintaan media, selain anggaran operasional juga tidak begitu besar, antara lain..

Melihat kondisi yang tidak klop ini penulis usulkan pada Presiden Jokowi untuk membatalkan usulan Capim KPK yang sudah di DPR saat ini. Opsi ini lebih sejuk dibandingkan mem veto draf revisi UU KPK tahun 2002. Selain itu, tekad Jokowi untuk mengawal setiap rupiah uang negara ke kegiatan dan/atau sasaran yang betul-betul pro rakyat sesuai sekali dengan kebijakan untuk menarik kembali usulan Capim KPK tersebut. 

Usulan Capim KPK yang baru kemudian disusun kembali dengan marwah revisi UU KPK termaksud.

lihat juga: Mengawal Setiap Rupiah Pengeluaran APBN/APBD, klik disini.

Dari obrolan warung kopi semalam, kami simpulkan bahwa KPK akan bernasib sama dengan BPKP. KPK akan mati suri. Kami simpulkan juga nasib KPK tidak berbeda jauh dengan nasib Abraham Samad dan Ahok.

Menarik juga, ada peserta bincang-bincang warung kopi itu mengatakan bahwa di banyak negara, termasuk Indonesia, dengan indeks keparahan korupsi yang tinggi berlaku frasa "korupsi itu pelumas ekonomi dan pembangunan." Jokowi terkesan lebih baik memelihara pembangunan ekonomi dari pada mengambil risiko untuk menjadi pahlawan anti korupsi Indonesia.

Last but not least, peserta bincang-bincang juga sepakat ada tiga kaki pengendali anti korupsi yang efisien. Ketiga kaki itu adalah Preventif, Edukatif, dan Represif. Kaki represif dijalankan utamanya oleh KPK sejauh ini. Dua kaki yang pertama belum banyak dilangkahkan dalam agenda pengendalian korupsi di Indonesia.

Dua langkah pertama itu jauh lebih sulit dari langkah ketiga, preventif. Jokowi seperti presiden-presiden RI terdahulu juga akan sambil guyon saja melangkah dengan dua kaki pertama itu.

Korupsi Adalah Pelumas Pembangunan dan Ekonomi

Ini Indonesia Bung!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun