Mohon tunggu...
Almas AisyaSyifa
Almas AisyaSyifa Mohon Tunggu... Lainnya - Hai! akun ini adalah akun untuk tugasku.

mari menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tradisi Hiburan Jaran Ebeg yang Melekat di Desa Jejeg

1 Desember 2021   12:08 Diperbarui: 1 Desember 2021   12:22 817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tradisi Hiburan Jaran Ebeg di Desa Jejeg

Hai hai sobat kompasiana! Aku mau ngenalin nih salah satu tradisi hiburan yang ada di Desa Jejeg. Desa Jejeg merupakan salah satu wilayah yang berada di Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal. 

Di Desa Jejeg ada sebuah kesenian yang sangat legend dan sangat ramai apabila ada yang menyewa. Di Desa Jejeg biasanya dikenal dengan kata (ditanggap), kesenian tersebut yaitu JARAN EBEG yang biasa di kenal masyarakat desa Jejeg. Jaran Ebeg/kuda lumping merupakan sebuah kesenian yang menggunakan boneka kuda yang terbuat dari anyaman bambu. 

Pada bagian buntut dan kepalanya diberikan sedikit rambut dari ijuk agar terlihat seperti kuda asli, dan pada lehernya diberikan lonceng yang menjadi bunyi khasnya. Kebanyakan pada suatu daerah, ebeg dikenal sebagai tarian khas yang di rasuki oleh makhluk halus. 

Namun, di Desa Jejeg sedikit berbeda karena ebeg yang dimaksud bukan suatu tarian khas melainkan tradisi hiburan yang dilaksanakan setiap ada yang menyewa/ditanggap. Biasanya masyarakat akan banyak yang menyewa apabila sedang musim hajatan.  Hajatan disini bukan acara pernikahan namun kebanyakan dari acara khitan/ sunatan.

Jaran ebeg biasanya ditampilkan oleh 4 sampai 5 orang, tergantung penyewa. Tak hanya menjadi jaran ebeg, talent juga menjadi jaran kethek atau menyerupai monyet. 


Jaran kethek di lakukan setelah ebeg sudah sampai di rumah sang penyewa. Jaran kethek juga mengejar orang-orang apabila banyak yang mengejeknya. Jika musik di mainkan, mereka akan berjoget ria menyesuaikan musik yang diputar. Namun, apabila musik berhenti mereka akan kembali menjadi jaran kethek dan mengejar orang-orang di sekitar. 

Tradisi jaran ebeg di desa Jejeg identik dengan aulnya yang khas.  Aul adalah sosok makhluk jadi-jadian yang menyeramkan. Namun, aul yang dimaksud disini yaitu seseorang yang menggunakan kostum lusuh dan topeng yang menyerupai makhluk menyeramkan sehingga membuat orang yang melihatnya merasa takut.

photo by @nzrm_els13
photo by @nzrm_els13

photo by @nzrm_els13
photo by @nzrm_els13

Tradisi ini sangat melekat pada masyarakat Desa Jejeg. Setiap ada yang menyewa, banyak masyarakat yang antusias menontonnya karena sangat menantang, bahkan tidak hanya dari masyarakat lokal namun banyak juga dari masyarakat luar desa. Sebelum dimulai, pawang ebeg meniupkan roh makhluk halus kepada orang yang menjadi ebeg, istilahnya "dirasuki setan" . 

Orang-orang akan berlari sambil mengejeknya, masyarakat biasa menyebutnya "ngeledek" agar acara lebih meriah (masyarakat Desa Jejeg biasa menyebutnya rahat). 

Para penonton yang mengejek biasanya banyak yang memakai baju berwarna merah karena konon jika memakai baju merah akan di kejar, padahal pada kenyataannya jika ada yang memakai baju merah namun tidak mengejek atau diam saja tidak akan dikejar oleh ebeg. 

Namun, untuk berjaga-jaga biasanya para warga khususnya yang perempuan hampir tidak ada yang memakai baju berwarna merah apabila hendak menonton pertunjukan tersebut. 

Beda hal dengan para laki-laki yang sengaja memakai kaos berawarna merah agar bisa dikejar oleh ebeg, padahal jika tidak mengejek tidak akan dikejar. 

Tak lupa pula, dalam tradisini ini penyewa harus menyiapkan sesajen untuk di makan oleh ebeg tersebut. Biasanya isian sesajennya yaitu air di bak yang ditaburi bunga mawar, kopi hitam, padi, pisang, beling, dodol, dan lain-lain.

photo by @nzrm_els13
photo by @nzrm_els13

Jaran ebeg di Desa Jejeg sangat dinantikan kehadirannya oleh warga sekitar khususnya para anak-anak remaja hingga orang tua. Bahkan banyak orang yang merantau rela pulang ke kampung halaman hanya untuk menonton tradisi hiburan ini. 

Sangat disayangkan apabila kami melewatkan tradisi hiburan tersebut karena tidak setiap hari ada, biasanya akan ramai apabila sedang musim hajatan. Bahkan terkadang hanya ada satu kali dalam setahun, sehingga banyak masyarakat yang menantinya . 

Apalagi untuk sekarang ini, semenjak adanya pandemik aktivitas yang menyebabkan orang berkerumun sangat dibatasi untuk menghindari penyebaran covid-19. 

Namun tidaklah menjadi masalah, karena semua demi kebaikan bersama. Semoga tradisi hiburan ini tetap bisa dilestarikan sampai anak cucu kita nanti agar bisa merasakan betapa menyenangkan dan menegangkannya apabila menonton tradisi ini.

Sekian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun