Mohon tunggu...
Ismail Fahmi
Ismail Fahmi Mohon Tunggu... Lainnya - al_mafhumy16

بسمة المرءة تجعل الجبان شجاعا

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibuku, Sekolah Sejati Tanpa Gaji

4 Desember 2020   09:40 Diperbarui: 4 Desember 2020   10:06 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku malu bergumam soal cinta, cinta kasih seorang ibu, karena kutahu cintanya jauh lebih besar dari cintaku. Aku malu, sudah hampir 18 tahun menjalani kehidupan ini, namun belum bisa membanggakannya. Belum bisa membuat dia bahagia. Ibu, kau sosok yang sederhana, tapi begitu tegar menghadapi anakmu yang tak tau terima kasih ini. Maafkan aku ibu! Sengaja ku menulis cerita ini, sebagai pengingat bagi diriku atas jasamu yang begitu berharga, begitu memesona.

Aku pernah berkecil hati. Sebab aku terlahir dari keluarga yang kurang mampu. Aku terlalu berpikir tinggi, hanya melihat ke atas, namun tidak pernah melihat ke bawah. Kini, aku sadar akan hal itu. Ingin ku merubah semuanya, membuang jauh pikiran semacam itu.

Ibuku bukanlah orang yang berpendidikan tinggi, bukan pula orang yang mempunyai kekayaan berlimpah. Namun, padanyalah aku belajar makna hidup, dengannyalah aku belajar nilai-nilai kehidupan. Dialah madrasah pertama bagiku. Sekolah hakiki yang Allah sengaja turunkan, karena sejatinya dialah sumber segala ilmu, apapun itu. Dia mendidik dengan penuh keikhlasan tanpa memikirkan balasan apa yang akan didapatkan.

Ibu, Sekolah Pertamaku.

Jika ditanyakan kepadaku, mengapa disebut demikian? Bagiku, dialah gudang segala ilmu, pendidik sejati yang tulus ikhlas mengajarku bertahun-tahun lamanya. Sebab, pendidikan bukan hanya terbatas di kelas saja, melainkan segala apa yang kita lihat, apa yang kita dengar, dan apa yang kita rasakan.

Ibu, Suri Tauladanku.

Di samping Rasulullah SAW, sosok ibu juga menjadi suri tauladan bagi buah hatinya. Begitu juga dengan ibuku, dialah suri tauladan pertama bagiku. Bagaimana tidak? Dia mendampingiku selama 24 jam, menuntunku berjalan saat masih kecil, melatihku berbicara, mengajarkanku cara makan dan minum, mendidikku soal etika dan sopan santun, dan masih banyak lagi yang lainnya. Aku merasa, seolah-olah ibuku adalah figur dari akhlak mulianya Rasulullah SAW.

Dari Ibu, Aku Belajar Membaca dan Menulis.

Aku memang tak sepenuhnya ingat tentang bagaimana ibuku mengajarkanku membaca dan menulis. Tapi, aku ingat betul bagaimana adikku yang masih kecil mampu membaca dan menulis berkat didikan dari ibu. Kuperhatikan dengan saksama, ku lihat ibuku membacakan perlahan huruf demi huruf, mengulanginya lagi sampai adikku mengikutinya. Demikian juga halnya dengan menulis.

Melihat hal itu, aku jadi berpikir, begitulah aku diajarkan dulu.

Dari Ibu, Jiwa Spiritualku Tertanam.

Selain dari sikap dan prilaku, ibu juga berperan dalam jiwa spiritualku. Kebiasaan ibu dalam beribadah, menjadikanku merekam semua itu, entah dari penglihatan maupun pendengaran. Secara tidak sadar, semua itu muncul ketika aku beranjak dewasa. Aku selalu teringat kebiasaan ibu membaca Surah Yasin ketika menidurkanku. Meskipun, tidak belajar secara langsung, tapi semua itu melekat dalam memori ingatanku untuk mengikuti jejak ibuku.

Ibuku Seorang Motivator Handal.

Aku teringat, ketika aku masih kelas 6 SD dulu. Saat itu Ujian Nasional tengah berlangsung. Ibuku menjadi orang pertama yang memberiku semangat.

"Nak, ibu tidak memaksamu mendapat nilai yang bagus, tapi lakukanlah terbaik yang memang dari dirimu."

Mendengar motivasi itu, semangatku dalam belajar naik drastis. Aku senantiasa membaca buku setiap sehabis shalat 5 waktu, meskipun sebentar. Terkadang ibuku menyuruhku beristirahat, "Nak, kalau kamu capek, berhentilah sejenak!" Namun, aku tetap melanjutkan bacaanku sampai tuntas.

Terbukti, saat pembacaan hasil Ujian Nasional di sekolah, aku menjadi peringkat pertama yang nilainya paling bagus. Aku bangga, sebab mampu menghasilkan yang terbaik. Ini semua berkat motivasi-motivasi ibuku selama ini, itulah mengapa aku menyebutnya "Motivator Handal".

Masih melekat dalam memoriku, ketika kali pertama aku masuk pesantren, ibukulah yang mempersiapkan segalanya. Ibu membelikan pakaian baru, memasukkan barang-barangku ke dalam koper, menghantarku sampai masuk gerbang pesantren. Ingin rasanya ku menangis, ditinggal di sebuah pesantren baru yang orang-orangnya tak ku kenal sama sekali. 

Akan tetapi, aku tak ingin melihat wajahnya yang saat itu tersenyum berubah menjadi wajah kecewa, hanya karena diriku. Ku mencoba menjalani hidup baru di pesantren itu. Hari demi hari kulalui, namun rasa rindu yang kian memuncak membuatku tidak betah di pesantren. Setiap kali shalat, terbayang wajah indah ibuku, sehingga isak tangisku menjadi-jadi. Air mataku jatuh ke pipi. Inginku bertemu, namun keadaan tak menjamin itu.

Disaat-saat sedih itulah ibuku bertindak sebagai penenang qalbu, penyemangat jiwaku.

Aku bersyukur sekali masih bisa merasakan indahnya bersama ibu. Ibuku bukan hanya sebagai sekolah bagiku, namun juga guru private-ku dalam berbagai hal, dalam berbagi bidang ilmu.

Terima kasih ibu, telah menjadi sekolah pertamaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun