Mohon tunggu...
Ismail Fahmi
Ismail Fahmi Mohon Tunggu... Lainnya - al_mafhumy16

بسمة المرءة تجعل الجبان شجاعا

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibuku, Sekolah Sejati Tanpa Gaji

4 Desember 2020   09:40 Diperbarui: 4 Desember 2020   10:06 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Selain dari sikap dan prilaku, ibu juga berperan dalam jiwa spiritualku. Kebiasaan ibu dalam beribadah, menjadikanku merekam semua itu, entah dari penglihatan maupun pendengaran. Secara tidak sadar, semua itu muncul ketika aku beranjak dewasa. Aku selalu teringat kebiasaan ibu membaca Surah Yasin ketika menidurkanku. Meskipun, tidak belajar secara langsung, tapi semua itu melekat dalam memori ingatanku untuk mengikuti jejak ibuku.

Ibuku Seorang Motivator Handal.

Aku teringat, ketika aku masih kelas 6 SD dulu. Saat itu Ujian Nasional tengah berlangsung. Ibuku menjadi orang pertama yang memberiku semangat.

"Nak, ibu tidak memaksamu mendapat nilai yang bagus, tapi lakukanlah terbaik yang memang dari dirimu."

Mendengar motivasi itu, semangatku dalam belajar naik drastis. Aku senantiasa membaca buku setiap sehabis shalat 5 waktu, meskipun sebentar. Terkadang ibuku menyuruhku beristirahat, "Nak, kalau kamu capek, berhentilah sejenak!" Namun, aku tetap melanjutkan bacaanku sampai tuntas.

Terbukti, saat pembacaan hasil Ujian Nasional di sekolah, aku menjadi peringkat pertama yang nilainya paling bagus. Aku bangga, sebab mampu menghasilkan yang terbaik. Ini semua berkat motivasi-motivasi ibuku selama ini, itulah mengapa aku menyebutnya "Motivator Handal".

Masih melekat dalam memoriku, ketika kali pertama aku masuk pesantren, ibukulah yang mempersiapkan segalanya. Ibu membelikan pakaian baru, memasukkan barang-barangku ke dalam koper, menghantarku sampai masuk gerbang pesantren. Ingin rasanya ku menangis, ditinggal di sebuah pesantren baru yang orang-orangnya tak ku kenal sama sekali. 

Akan tetapi, aku tak ingin melihat wajahnya yang saat itu tersenyum berubah menjadi wajah kecewa, hanya karena diriku. Ku mencoba menjalani hidup baru di pesantren itu. Hari demi hari kulalui, namun rasa rindu yang kian memuncak membuatku tidak betah di pesantren. Setiap kali shalat, terbayang wajah indah ibuku, sehingga isak tangisku menjadi-jadi. Air mataku jatuh ke pipi. Inginku bertemu, namun keadaan tak menjamin itu.

Disaat-saat sedih itulah ibuku bertindak sebagai penenang qalbu, penyemangat jiwaku.

Aku bersyukur sekali masih bisa merasakan indahnya bersama ibu. Ibuku bukan hanya sebagai sekolah bagiku, namun juga guru private-ku dalam berbagai hal, dalam berbagi bidang ilmu.

Terima kasih ibu, telah menjadi sekolah pertamaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun