Mohon tunggu...
Syahrir Alkindi
Syahrir Alkindi Mohon Tunggu... Konsultan - Mencari

Penulis dan konsultan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Radikalisme dan Genealogi Konflik

2 Juni 2018   22:30 Diperbarui: 2 Juni 2018   22:30 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Isu Radikalisme dan Intoleransi kembali merebak belakangan ini. hembusan konflik semakin kencang semenjak beragam kasus bom bunuh diri dan tindak kekerasan berbau sektarian silih berganti terjadi di berbagai daerah Indonesia. Fenomena ini menuntut refleksi dan pemikiran kritis yang lebih jauh. Apa sebenarnya akar dari segala tindakan teror dan kekerasan ini?

Isu sektarian dan politik identitas memang sudah menjadi sebuah keniscayaan dalam tiap-tiap konflik semacam ini. tidak ada aksi teror yang tidak mengatasnamakan sebuah identitas. Identitas ini saling tumpang-tindih dan memperjuangkan eksistensi dan afirmasi-nya di ruang publik, termasuk melalui tindak kekerasan dan aksi teror.

Identitas selalu diupayakan keterkenalan dan keterimaannya di ruang publik oleh para pengusungnya. Identitas adalah pengejewantahan diri di ruang publik. Subyek politik akan merasa tidak terasing apabila identitasnya diakui dan diterima di masyarakat. Peliknya, upaya penerimaan ini selalu disertai anggapan bahwa identitas milik kelompoknya harus selalu mendominasi dan menjadi arus dominan dalam pembentukan sebuah wacana.

Munculnya kehendak untuk melawan ideologi dan kelompok politik penguasa yang sudah mapan selalu menimbulkan kelompok politik subalterna. Kelompok politik sub-alterna ini selalu mencari cara dan upaya agar ideologi dan paham kelompoknya diterima dalam ruang publik, baik lokal ataupun global.

Berbicara ruang publik lokal dan global tidak lepas dari bentuk dan keberadaan negara. Negara selalu mengandaikan sifat nasionalisme dan patriotisme sebagai penanda identitas politik tertentu. Nasionalisme terbentuk ketika sekelompok individu meleburkan dan menyamakan visi mereka terhadap suatu cita-cita yang didasari letak geografis, kesamaan budaya, dan tujuan yang hendak dicapai.

Tidak seperti negara, nasionalisme tidak memiliki batasan ruang. Siapa saja dan dimana saja bisa mengekspresikan rasa nasionalismenya. Nasionalisme ini bisa melekat pada bentuk negara yang diakui secara de facto dan de jure atau pada paham dan identitas tertentu yang tidak mendapat rekognisi khusus, contohnya gerakan ultra-nasionalis dan ekstrimis yang mengatasnamakan negara, ras, atau agama tertentu.

Kecenderungan kelompok-kelompok ini untuk berkuasa didasari kehendak untuk mengenalkan identitas yang mereka emban sebagai individu kepada khalayak. Beragam aksi dan tindakan pun mereka lakukan, termasuk teror dan tindak kekerasan.

Ciri-ciri kelompok supra-etnis selalu melekat pada kelompok-kelompok ultra-nasionalis dan ekstrimis ini. menganggap kelompoknya selalu superior dan lebih unggul dibanding identitas dan entitas lain menjadi pemicu dan motivasi mereka dalam menyebarkan pengaruh melalui berbagai aksi teror dan kekerasan.

Yang harus dipetakan pertama kali bukanlah identitas apa yang mereka wakili, melainkan konflik apa yang menyebabkan identitas dan preferensi ideologi tersebut muncul. Tidak semudah itu menuding tindak kekerasan dan menggeneralisasikan aksi teror dan kekerasan tersebut disebabkan oleh paham kebudayaan, etnis, politik atau agama tertentu.

Genealogi konflik ini akan menuntun kita kepada awal pembentukan sebuah identitas dan apa-apa yang menyebabkan identitas tersebut ingin menunjukkan superioritas mereka ketimbang identitas-identitas yang lain. Melalui cara ini, sebuah pertimbangan akan muncul tanpa disertai sentimen dan syak wasangka terhadap identitas tertentu.

Sebuah konflik tentu meniscayakan disensu. Pola disensus inilah yang pertama kali harus diubah untuk menciptakan pertimbangan dan analisis yang lebih adil dan elaboratif. Asumsi yang menimbulkan Sentimen SARA kerap kita ajukan karena ketiadaan akses terhadap genealogi konflik tersebut di awal kemunculannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun