Teman saya Kepala Biro Keuangan di Pemda Provinsi. Sekarang sdh pensiun. Orangnya baik. Kaya karena orang tuanya. Ibadah sholatnya tak pernah lepas.
Suatu hari saya gali pengalamannya. Jadi begini kalau mau korupsi yg aman. Biasanya mulai dari suatu rencana. Ideanya  datang dari berbagai pihak: Staffnya, Pengusaha (yg nanti sebagai pemenang tender) atau anggota Dewan (juga titipan dari pengusaha yg punya gagasan). Selanjutnya idea mentah ini, dibuatlah dlm proposal akademisnya. Nah ini biasanya, dibuatkan oleh orang orang Perguruan Tinggi yg top. Maklun.
Selesai naskah akademisnya, lalu melobby anggotan Dewan, yg kelak akan meloloskannya di panitia anggaran. Sampai di sini itu, lembaga terkait sdh terlibat, seperti Dinas terkait, Bappeda, Biro Anggaran, dll.
Bagaimana menentukan nilai anggarannya? Lobby kepada pembuat naskah akademiknya sangat penting. Supaya tergambar konstruksinya mahal. Yg bermain soal harga biasanya pengusaha. Sebab dialah yg kemudian mengatur, brp ongkos proyek, biaya untuk semua pejabat yg terlibat. Termasuk jatah untuk Badan Pengawas Keuangan Daerah.Dll.
Semua biaya awal, ada pemodalnya. Dia adalah pengusaha yg nanti bakal menjadi pemenang tender proyek tsb. Kemudian Dinas terkait menunjuk Pimpro dan Teamnya, yg tentu saja model orangnya yg dapat melaksanakan dan mengamankan titipan2 proyek tsb.
Nah, skrg giliran tender. Pengusaha yg tadi memodalinyalah, yg mengatur semuanya, bgmn spy perusahaannya menang tender. Dipilihlah perusahaan partner sbg pendamping, karena harus kalah. Kemudian diberi fee, sekian prosen dr nilai priyek. Dan kerjasama dg pimpro, untuk menentukan kualifikasi perusahaan yg akan menang. Syarat2 nya yg ditentukan dan  mengarah kpd satu perusahaan calon pemenang itu.
Kasarnya, anggaran itu, yg digunakan ongkos real pekerjaan paling maximal 45%. Sisanya dibagi bagi. Jadi, system yg buruk ini, bisa menyeret pejabat yg jujurpun terlibat. Apalagi pejabat yg kemaruk.