Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di MTs Bustanul Faizin Desa Blimbing Kecamatan Besuki Kabupaten Situbondo, diketahui bahwa pelaksanaan pembelajaran fikih untuk kelas 9, baik semester 1 maupun semester 2, berlangsung dengan cukup baik dan terstruktur, meskipun masih terdapat beberapa kendala yang perlu mendapatkan perhatian. Guru fikih di madrasah ini secara umum telah mengikuti silabus dan RPP yang telah ditetapkan oleh Kementerian Agama, serta menyesuaikannya dengan kondisi peserta didik dan lingkungan sekitar. Materi pada semester 1 yang mencakup zakat, haji, dan umrah disampaikan dengan pendekatan ceramah, diskusi, serta tanya jawab. Guru memulai pembelajaran dengan menjelaskan pengertian zakat dan jenis-jenisnya, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang haji dan umrah yang mencakup syarat, rukun, dan tata cara pelaksanaannya.
Dalam observasi yang dilakukan, tampak bahwa siswa cukup antusias ketika guru menjelaskan materi yang berhubungan langsung dengan kehidupan mereka, seperti zakat fitrah yang biasa mereka bayarkan setiap menjelang Idul Fitri. Mereka lebih mudah memahami materi yang sudah mereka lihat atau alami secara langsung. Sebaliknya, ketika memasuki pembahasan yang lebih kompleks seperti nisab zakat mal dan perhitungan harta, antusiasme siswa cenderung menurun karena dianggap terlalu rumit dan tidak relevan dengan kehidupan mereka saat ini. Guru berusaha mengatasi hal ini dengan memberikan contoh-contoh konkrit dan mendekatkan materi dengan situasi yang mereka kenal, seperti menyebutkan hasil panen di ladang atau kepemilikan ternak sebagai contoh objek zakat.
Sementara itu, pada semester 2, materi fikih bergeser ke aspek muamalah dan sosial keagamaan, yakni jual beli serta khutbah, tablig, dan dakwah. Materi jual beli menarik perhatian siswa karena berkaitan dengan kegiatan ekonomi yang sering mereka lihat di pasar atau toko. Guru menyampaikan materi ini dengan menjelaskan prinsip dasar jual beli dalam Islam, seperti kejujuran, saling ridha, dan larangan riba. Siswa tampak aktif ketika diajak berdiskusi mengenai praktik jual beli yang mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari, dan sebagian bahkan menceritakan pengalaman mereka membantu orang tua berdagang. Hal ini menunjukkan bahwa materi fikih bisa sangat hidup dan bermakna jika dikaitkan langsung dengan realitas siswa.
Adapun pembahasan tentang khutbah, tablig, dan dakwah lebih banyak menekankan pada pemahaman peran seorang muslim dalam menyampaikan kebaikan. Guru tidak hanya menjelaskan definisi, syarat, dan rukun khutbah, tetapi juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempraktikkan khutbah secara sederhana di depan kelas. Ini menjadi pengalaman yang menyenangkan sekaligus menegangkan bagi sebagian siswa, namun memberikan efek positif dalam membangun rasa percaya diri dan kemampuan berbicara di depan umum. Dalam materi tablig dan dakwah, guru mengajak siswa untuk membuat pesan dakwah singkat yang bisa disampaikan dalam bentuk tulisan atau lisan. Beberapa siswa menulis pesan singkat bernuansa islami yang kemudian dibacakan di depan teman-temannya. Kegiatan ini membuktikan bahwa pembelajaran fikih tidak hanya dapat membentuk pemahaman kognitif, tetapi juga keterampilan sosial dan spiritual siswa.
Namun, dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa kendala yang dihadapi oleh guru maupun siswa. Kendala utama yang dirasakan guru adalah keterbatasan waktu dan kurangnya media pembelajaran yang mendukung. Guru fikih hanya memiliki waktu terbatas setiap pekan, sementara materi yang harus disampaikan cukup padat. Hal ini membuat guru harus menyesuaikan strategi agar semua materi tetap bisa disampaikan tanpa mengurangi kualitas penyampaian. Selain itu, media pembelajaran seperti video, gambar ilustrasi, atau alat peraga masih sangat minim, sehingga guru harus lebih kreatif dalam menyampaikan materi agar tetap menarik. Beberapa guru menyiasatinya dengan membawa cerita-cerita inspiratif dari kitab klasik atau pengalaman nyata yang relevan dengan materi, sebagai cara untuk membangkitkan semangat siswa dalam memahami nilai-nilai fikih.
Dari sisi siswa, kendala utama adalah perbedaan tingkat pemahaman antar individu. Sebagian siswa dapat mengikuti pelajaran dengan baik dan aktif dalam diskusi, sementara sebagian lainnya masih kesulitan dalam memahami istilah-istilah fikih yang dianggap asing atau terlalu formal. Selain itu, beberapa siswa memiliki latar belakang keluarga yang kurang mendukung kegiatan belajar di rumah, sehingga penguatan materi di luar kelas kurang maksimal. Namun demikian, guru berusaha memberikan perhatian lebih kepada siswa yang membutuhkan bimbingan tambahan, serta memberikan tugas-tugas ringan yang dapat dikerjakan secara mandiri untuk memperkuat pemahaman.
Salah satu aspek yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah sejauh mana materi fikih dapat membentuk karakter Islami dalam diri siswa. Dari hasil wawancara dengan guru dan siswa, ditemukan bahwa sebagian besar siswa mengaku mulai memahami pentingnya kejujuran dalam jual beli, pentingnya saling membantu melalui zakat, serta pentingnya menyampaikan kebaikan melalui dakwah. Meski belum semua siswa mampu mengamalkannya secara konsisten, proses internalisasi nilai-nilai fikih mulai terlihat dalam sikap sehari-hari mereka. Guru menyebutkan bahwa siswa mulai menunjukkan rasa tanggung jawab yang lebih besar, misalnya dengan datang tepat waktu, menjaga kebersihan, dan menghormati teman serta guru. Meskipun hal-hal ini tampak sederhana, namun menjadi indikator bahwa pembelajaran fikih memiliki kontribusi dalam membentuk karakter dan etika siswa.
Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran fikih di MTs Bustanul Faizin telah dilaksanakan dengan pendekatan yang cukup kontekstual dan aplikatif. Guru berusaha mengaitkan materi dengan kehidupan nyata siswa, sehingga pelajaran tidak hanya berhenti pada hafalan tetapi masuk ke dalam pengalaman dan sikap. Dalam konteks pendidikan karakter, materi fikih sangat potensial menjadi media pembentukan kepribadian Islami karena di dalamnya terkandung nilai-nilai seperti amanah, adil, jujur, sabar, dan tanggung jawab. Tantangan ke depan adalah bagaimana madrasah dapat mendukung guru dengan menyediakan media dan pelatihan yang memadai agar pembelajaran semakin inovatif dan bermakna.
Dengan demikian, pembelajaran fikih dari materi zakat hingga dakwah di kelas 9 tidak hanya memberi pengetahuan agama secara teori, tetapi juga menyentuh sisi afektif dan psikomotorik siswa. Ketika materi dikaitkan dengan kehidupan mereka, baik dalam bentuk praktik maupun diskusi, siswa menjadi lebih mudah memahami dan menginternalisasi pesan-pesan moral yang terkandung dalam ajaran Islam. Maka, penting bagi semua pihak, baik guru, madrasah, maupun orang tua, untuk bersama-sama memperkuat sinergi dalam mendukung pembelajaran fikih yang membentuk karakter, bukan hanya mengisi akal, tetapi juga menyentuh hati.
Kesimpulan