Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (99) Galau di Kampung Sendiri

8 Maret 2021   22:51 Diperbarui: 9 Maret 2021   22:10 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

Mak Meme mengangguk lalu meninggalkannya.

Meski kepala Soso masih terasa berat oleh kantuk, ia tak meneruskan tidurnya. Ia menghabiskan sarapannya dan minum air putih di teko tembikar yang entah sudah berada di situ berapa lama. Ia tak peduli, toh rasanya masih segar. Kotor karena debu sedikit tak apalah, pikirnya.

Ia bingung mau ngapain. Tak ada kereta ke Tiflis jam segitu. Dulu juga ia berangkat sore menjelang malam. Itupun ia tak yakin apakah hari ini ada atau jangan-jangan juga tak setiap hari. Atau mungkin ia memang perlu pergi ke stasiun untuk memastikannya. Itulah yang terpikir olehnya.

Meski ia membawa bekal pakaian, Soso memilih untuk mencari baju-baju di lemari yang berada di dekat ranjang tuanya. Ia menemukan baju-bajunya dulu, tapi ternyata sudah banyak yang butut, dan terutama ukurannya sudah pada ciut.

Ia tersenyum sendiri, benar mungkin kata Pak Jojo kemarin, badannya sudah lebih besar. Sesuatu yang tentu saja tak ia sadari. Apalagi semasa kecil, ia dikenal sebagai anak yang terlambat perkembangan tubuhnya. Entah karena penyakit, atau mungkin juga karena kurang gizi. Gara-gara itu, Soso batal mengganti pakaian dengan pakaian lamanya, dan mengambil bekal pakaian di tas buntelannya, lalu pergi untuk mandi.

*****

Tak ada kereta ke Tiflis hari itu. Rupanya kereta Poti-Tiflis, atau sebaliknya, masing-masing berjarak dua hari. Ini yang tak ia ingat atau tak ia perhatikan. Mungkin dulu, ia selalu pas harinya, jadi seolah kereta itu ada setiap hari.

Jelas Soso bingung dibuatnya. Ia tak ingin berlama-lama di Gori tanpa ibunya. Gori tanpa Mak Keke itu seperti labio tanpa kacang. Apalagi ibunya sedang mengurusi sebuah masalah yang berada tak jauh dari Tiflis.

Selain itu, ia tak mau berurusan lagi dengan Bonia. Gadis itu membuat Soso tak nyaman sekarang. Waktu Mak Keke ada saja, ia mencuri-curi kesempatan hingga Soso tergoda lagi. Apalagi kalau ia tahu sekarang Soso sendirian di rumahnya, gawat-surawat. Soso bener-bener ingin menghindar darinya. Bukan munafik, tapi ia tak nyaman. Bagaimana pun juga, Bonia adalah adik tirinya sekarang. Apa kata orang kalau tahu ia masih ada apa-apanya dengan anak Pak Koba yang sudah jadi ayah tirinya itu!

Celakanya, tak ada tempat untuk bersembunyi di Gori itu. Ke manapun ia pergi, akan ada orang yang mengenalinya, dan mungkin bisa menyampaikannya kepada Pak Koba, Yuri, dan juga Bonia. Apalagi kawan-kawan masa kecilnya yang tak lain adalah kawan si Yuri juga. Masak iya dia harus cerita kalau ia menghindari Bonia. Bisa-bisa malah ketahuan skandal yang sesungguhnya, yang ia coba untuk sembunyikan. Baginya, ia boleh ketahuan nakal dengan perempuan lain, tapi bukan dengan Bonia. Kasihan anak itu. Bagaimanapun Soso masih mengingat kebaikannya. Tapi situasinya sudah benar-benar berbeda sekarang!

Karena kebanyakan pikiran, Soso malah jadi luntang-lantung dekat stasiun, sampai sebuah suara mengagetkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun