Soso memutuskan untuk berjalan-jalan pagi. Hamparan salju tipis menyelimuti lanskap kota kecil kumuh itu. Soso bosan melihatnya. Ia terus berjalan menjauh. Mendadak saja ia kangen dengan pemandangan alam. Ditelusurinya jalan-jalan kecil kebun dan ladang. Sampai ia bertemu dengan seorang lelaki tua yang menyandang namgali --sabit besar dan panjang yang biasa dipakai untuk memanen jagung. Orang juga sering menyebutnya ‘sabit hyena’ entah kenapa, mungkin karena ‘rakus’ bisa membabat banyak batang jagung sekali tebas.
Soso mengenali lelaki yang berjalan di depannya itu, ia segera menyusul dan menjejerinya. “Ninika…” Soso menyapanya.
Lelaki tua itu melirik, “Kau siapa?”
“Saya Soso, anak Mak Keke…” jawabnya. Ia tahu, lelaki tua itu dari dulu sudah agak pikun, mungkin sekarang bertambah kepikunannya. Atau mungkin juga matanya yang sudah tak terlalu awas lagi. Lagi pula, kata orang, Ninika itu sudah kehilangan kewarasannya.
“Ah, anak si Beso rupanya…” ia tersenyum.
Soso nyengir, lelaki tua yang dipanggil Ninika itu –entah siapa nama sebenarnya—rupanya masih ingat. Dulu memang sering ke rumah untuk memesan sepatu, saat Pak Beso, bapaknya, masih waras dan menjalankan usaha sepatunya. “Mau kemana Ninika?”
“Aku mau panen…” jawabnya sambil mengurangi kecepatan jalannya, tidak setergesa sebelum disapa Soso.
“Panen jagung? Dimana?” tanya Soso.
“Di ladangku lah…” jawabnya.
Soso bingung dan melihat ke sekeliling, tak ada tanaman jagung. Ladang rata ditutupi salju. “Wah, lagi kumat nih kayaknya…” bathin Soso. Lagian seingatnya lelaki itu sudah tak punya ladang.
“Memangnya sudah waktunya panen?” tanya Soso lagi.