Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (20) Si Tua Ninika

16 Desember 2020   08:08 Diperbarui: 17 Desember 2020   06:07 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
WPAP By Alip Yog Kunandar

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (19) Gadis Manis dalam Kereta

*****

Mak Keke girang bukan kepalang. Si anak semata wayang pulang lama menghilang dari pandang. Ingin hati ia menimang, apadaya kakinya kalah panjang, dan tangannya kalah rentang. “Pulang juga kau Nang.. Mak kira kau sudah senang, pulang bawa gadis terpinang, lalu Mak kau tendang…”

“Mak kira aku Malin Kundang! Lebay amat sih Mak…”


Mak Keke tergelak. “Kangen lah So, lama nggak ada orang yang bisa Mak kemplang..”

Soso manyun.

“Naik apa kau pulang? Tak ada kereta kulihat!” tanya Mak Keke.

“Kereta api, Mak…” jawab Soso.

“Wah keren kali, punya duit darimana bisa beli tiketnya?”

“Ada lah Mak… nanti kuceritakan,” jawab Soso. “Lapar ini Mak, punya makanan apa?”

Mak Keke tertawa, “Iya, maaf, terlalu kangen Mak. Sana istirahat dulu, nanti kucarikan makanan…” katanya. Ia terburu-buru keluar rumah.

Soso masuk ke dalam rumah, dan mendapatkan rumah itu tak banyak berubah. Tumpukan pakaian orang lain yang harus dicuci dan selesai dicuci mengisi pojokan. Persis seperti dulu. Rupanya Mak Keke masih meneruskan usaha laundry-nya. Pojok selatan yang dijadikan dapur tanpa sekat juga terlihat sepi, hanya peralatan makan sederhana yang berserak tanpa isi. Tapi pojokan tempat tidurnya dimana tergeletak sehelai kasur jerami yang pembungkusnya sudah tambal-sulam terlihat rapi. Mungkin Mak Keke yang memakainya selama ia nggak ada. Soso menyimpan tas kecil bawaannya, melepaskan arkhalukhi barunya yang masih bau toko, lalu membaringkan badannya. Bangku kayu di kereta membuat tubuhnya pegal, andai saja tak punya kawan perjalanan yang asyik dan cantik, mungkin penatnya lebih terasa.

Ingatannya melayang kemana-mana, bepergian melintasi masa layaknya memakai mesin waktu, berpindah-pindah antara Tiflis dan Gori seolah tak berjarak, orang-orang dari masa lalu dan orang-orang yang baru hadir dalam hidupnya melintas dan menyapanya. Dan yang terakhir menyapanya adalah Natasha, perempuan cantik kawan perjalanannya tadi. Tapi segera saja ia bertarung melawan Irena, lalu Bonia.

Mak Keke pulang tergopoh-gopoh sambil memegangi seekor ayam. “So, potongkan ayam nih… Mak mau siapkan bumbunya…”

Soso bangkit dan mendekati emaknya. “Ayam siapa ni Mak? Sejak kapan Mak sempat miara ayam, wong miara anaknya sendiri aja nggak keurus!” kata Soso sambil menimang ayam gemuk itu.

“Ayam lewat kutangkap!” Mak Keke sewot. “Nggak usah banyak nanya, sono potong dan bersihkan. Mak juga udah lama nggak makan enak, apalagi sejak kamu nggak ada, nggak ada yang bawain ikan lagi!”

Soso tertawa, Mak Keke nggak berubah, masih ceplas-ceplos, kadang kocak, tapi kalau lagi galak, nggak usah dilawan, mending ngalah.

Dan malam itu, anak-beranak itu makan malam dengan nikmat, seekor ayam gemuk habis disantap berdua, entah sama-sama lapar, sama-sama doyan, atau sama-sama rakus. Cerita Soso mengalir deras. Mak Keke mendengarkannya dengan bangga, apalagi ditutup dengan cerita nilai-nilai mata pelajarannya. Tentu saja, cerita kelam di pabrik, kisah Tembok Derita dan lain-lain, tak masuk dalam alur cerita. Soso telah menyuntingnya dengan rapi, kisah-kisah manis yang ia bagi, sementara kisah pahit ia kunci dalam peti hatinya. Kisah itu tak layak didengarkan emaknya.

*****

Soso terbangun pagi. Mungkin karena sudah kebiasaan saat di asrama, padahal nggak ada lonceng yang membangunkannya. Niatnya menemui Bonia untuk menunjukkan baju barunya ditunda. Masih terlalu pagi, anak itu juga belum tentu sudah bangun. Ia tahu, cewek itu kebluk juga, males bangun pagi. Mungkin karena tak pernah disuruh ibunya untuk bangun pagi dan bantu-bantu nyiapin sarapan.

Soso memutuskan untuk berjalan-jalan pagi. Hamparan salju tipis menyelimuti lanskap kota kecil kumuh itu. Soso bosan melihatnya. Ia terus berjalan menjauh. Mendadak saja ia kangen dengan pemandangan alam. Ditelusurinya jalan-jalan kecil kebun dan ladang. Sampai ia bertemu dengan seorang lelaki tua yang menyandang namgali --sabit besar dan panjang yang biasa dipakai untuk memanen jagung. Orang juga sering menyebutnya ‘sabit hyena’ entah kenapa, mungkin karena ‘rakus’ bisa membabat banyak batang jagung sekali tebas.

Soso mengenali lelaki yang berjalan di depannya itu, ia segera menyusul dan menjejerinya. “Ninika…” Soso menyapanya.

Lelaki tua itu melirik, “Kau siapa?”

“Saya Soso, anak Mak Keke…” jawabnya. Ia tahu, lelaki tua itu dari dulu sudah agak pikun, mungkin sekarang bertambah kepikunannya. Atau mungkin juga matanya yang sudah tak terlalu awas lagi. Lagi pula, kata orang, Ninika itu sudah kehilangan kewarasannya.

“Ah, anak si Beso rupanya…” ia tersenyum.

Soso nyengir, lelaki tua yang dipanggil Ninika itu –entah siapa nama sebenarnya—rupanya masih ingat. Dulu memang sering ke rumah untuk memesan sepatu, saat Pak Beso, bapaknya, masih waras dan menjalankan usaha sepatunya. “Mau kemana Ninika?”

“Aku mau panen…” jawabnya sambil mengurangi kecepatan jalannya, tidak setergesa sebelum disapa Soso.

“Panen jagung? Dimana?” tanya Soso.

“Di ladangku lah…” jawabnya.

Soso bingung dan melihat ke sekeliling, tak ada tanaman jagung. Ladang rata ditutupi salju. “Wah, lagi kumat nih kayaknya…” bathin Soso. Lagian seingatnya lelaki itu sudah tak punya ladang.

“Memangnya sudah waktunya panen?” tanya Soso lagi.

Ninika menatapnya, bola matanya yang sudah memutih masih bisa menatapnya dengan tajam, “Matamu picek! Nggak liat jagung sudah ranum keemasan?” bentaknya.

Soso diam dan berhenti menjejeri langkahnya, “Bisa ikutan gila aku…” bathinnya.

Ninika kayanya sudah beneran tak waras seperti kata orang. Bukan tak waras seperti bapaknya yang kebanyakan mabok. Menurut cerita orang Ninika mulai gila sejak kehilangan ladangnya. Ia berutang banyak pada orang Rusia, dan ladangnya disita. Istrinya yang cantik kabur meninggalkannya sendirian, anak-anaknya dibawa serta. Ninika bukan satu-satunya petani yang kehilangan ladangnya. Banyak. Sebagian bahkan masih berutang saat tanahnya sudah disita sekalipun.

Ia ingat, sekitar tiga tahu yang lalu, saat usianya 14 tahunan, di alun-alun Gori orang ramai berkumpul. Katanya siang itu akan ada eksekusi tiga orang pencuri sapi. Menurut desas-desus, pentolan komplotan pencuri, Sandro Khubuluri, dan dua anak buahnya, kakak beradik Tato dan Shova Jioshvili akhirnya tertangkap, dan akan digantung hari itu. Orang-orang Gori, terutama orang miskin sudah tahu siapa mereka. Sandro dan kawan-kawan, adalah orang-orang seperti Ninika. Mereka kehilangan tanah dan hartanya. Karena masih berutang, mereka melarikan diri ke hutan, merampok orang-orang Rusia atau orang kaya Georgia yang dianggap tak peduli lagi pada sesamanya. Seperti kisah Robin Hood, mereka membagikan hasil rampasannya pada orang-orang yang membutuhkan. Banyak orang yang bersimpati pada mereka, termasuk juga polisi Gori yang asli Georgia. Makanya, lama sekali mereka tak tertangkap. Sampai akhirnya harus didatangkan tentara Tsar ke Gori untuk membantu menangkap mereka.

Soso yang baru pulang sekolah mengajak beberapa temannya untuk menonton. Tapi tak banyak yang mau ikut. Akhirnya ia hanya pergi bersama si Devo, Peta, dan satu lagi Grigory Razmaze alias si Gigi. Di jalan, si Devo ketemu bapaknya yang polisi itu dan disuruh pulang. Jadilah hanya Soso, Peta, dan si Gigi yang pergi ke alun-alun.

Alun-alun sudah bener-bener ramai. Di tengahnya sudah berdiri panggung dengan tiga tali gantungan. Seorang berpakaian pendeta memegang salib besar di samping tiga orang terpidana yang akan diakhiri hidupnya itu. Di sekelilingnya, polisi Gori mengawal terpidana dengan ogah-ogahan, seperti terpaksa, antara tidak tega dengan takut akan ancaman perintah atasan. Sementara tentara Tsar berbaris membentuk benteng persegi dua lapis mencegah penonton mendekat. Itu tidak biasa. Penggantungan penjahat --sekelas maling-- umumnya tak dijaga tentara. Tak ada juga jarak antara penonton dengan tiang gantungan. Tapi kali ini istimewa, bukan saja karena ‘buronan Gori nomor satu’ yang menjadi musuh orang Rusia itu yang akan digantung, tapi karena para penonton justru menentang hukuman gantung itu. Banyak penonton yang melemparkan benda-benda ke arah tentara Tsar, bukan pada terpidana seperti biasanya.

Soso dan dua temannya tak bisa masuk ke tengah lapangan, terlalu sesak. Tubuh kecilnya pasti akan terhimpit, dan ia takkan bisa menyaksikan eksekusinya. Karena itu mereka menuju tempat tinggi ke dekat perbukitan, sehingga mereka bisa menyaksikan persitiwa itu meski tidak terlalu jelas. Peta dan Gigi mengajak Soso naik ke sebuah pohon agar lebih jelas. Tapi Soso tertarik pada seorang lelaki muda yang tak dikenalnya, pasti bukan orang Gori. Lelaki itu, mungkin sepuluh tahun lebih tua darinya. Duduk di bawah sebuah pohon mengamati kerumunan orang di lapangan, lalu mencatat.

Soso membiarkan Peta dan Gigi naik duluan. Ia mendekati lelaki itu, mengintip catatannya, ternyata ia menulis dengan huruf Rusia. Soso tak bisa membacanya. Menyadari ada yang menyelinap di belakangnya, lelaki itu menoleh. “Apa yang kamu lihat?” tanyanya dengan bahasa Georgia yang aneh. Mungkin bener dugaan Soso, dia orang Rusia.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya Soso.

“Aku mencatat peristiwa…” jawabnya, ramah. “Namaku Alexei Maximovich Peshkov, kau boleh panggil aku Maxim. Aku seorang wartawan…”

Soso menatapnya masih dengan penuh kecurigaan.

“Kau sendiri, ngapain nonton beginian?” tanya lelaki itu.

“Aku mau melihat orang-orang itu digantung..” jawab Soso.

“Kenapa?”

“Karena tidak seharusnya mereka digantung!” jawab Soso. “Orang Rusia membenci mereka, tapi orang sini tidak. Bukan mereka yang merampok orang Rusia, tapi orang Rusia yang merampok mereka lebih dulu…”

“Kata siapa?” tanya lelaki itu sambil tetap tersenyum.

“Kata orang-orang…” jawab Soso polos, “Eh, kau orang Rusia ya?” Soso tiba-tiba menyadari sesuatu, menjelek-jelekan orang Rusia pada orang Rusia sendiri.

Lelaki itu tertawa, “Kenapa? Kan aku bukan orang Rusia yang mereka rampok atau yang merampas harta mereka…”

Soso diam.

“Terus menurutmu bagaimana?” tanya lelaki itu lagi.

“Kalaupun mereka bersalah, tidak layak mereka digantung. Kata guru-guru saya, utang nyawa tidak harus selalu dibayar nyawa, apalagi kalau cuma nyolong sapi…” jawab Soso.

“Siapa namamu?” tanya lelaki itu. Meski enggan, tapi karena lelaki itu cukup ramah, Soso menyebutkan namanya, lengkap dan juga panggilannya. “Terimakasih sudah mengobrol denganku, tapi aku harus mendekat ke sana, eksekusi tampaknya sudah mau dilakukan. Kau, Soso, sebaiknya jangan menonton, itu bukan hiburan!” katanya sambil beranjak meninggalkan Soso menuju lapangan. Soso hanya diam sambil memandangi lelaki itu. Ia tak tahu, kelak nasib akan membawanya bertemu kembali dengan lelaki itu. Ia, dan orang di seluruh dunia, nantinya akan mengenal lelaki itu sebagai Maxim ‘Si Pahit Lidah’ alias Maxim Gorky.

Soso mengabaikan saran lelaki itu. Ia bergabung dengan Peta dan Gigi naik ke atas pohon. Dari situ, tiang gantungan terlihat jelas, meski orang yang ada di dekat gantungan itu tak bisa dikenali wajahnya. Mendekati waktu eksekusi, lemparan-lemparan batu makin ramai ke arah tentara Tsar yang membentengi tiang gantungan.

Pendeta sudah mendekati tiga orang terpidana itu, mungkin melakukan pemberkatan atau memimpin doa. Setelah itu, seorang polisi Gori mendekat. Tak lama, seorang terpidana diberi air, yang satu lagi diberi rokok. Hanya yang ditengah yang tak diberi apa-apa. Mungkin itu permintaan terakhir mereka, entahlah. Dan berikutnya, adegan yang paling ditunggu dan paling menyeramkan, seorang dengan jubah merah dan bertopeng, mendekat, menunggu aba-aba,  lalu menendang bangku pijakan narapidana pertama. Tubuhnya mengayun, menggeliat, lalu diam. Setelah itu disusul oleh narapidana yang kedua di sisi kanan. Begitu pula. Giliran yang ketiga, yang di tengah. Lemparan orang makin banyak, kali ini mengarah pada si algojo. Algojo menendang bangku, tapi tali yang melingkar di leher lelaki dengan badan paling besar itu terputus. Si Narapidana tersungkur ke lantai panggung. Dua polisi mengangkatnya, yang lainnya memasang tali pengganti. Eksekusi kedua dilakukan. Dan kali ini sukses.

Soso, Gigi, dan Peta tak ada yang saling berbicara, bahkan sampai mereka pulang ke rumahnya masing-masing.

*****

Soso memutuskan untuk kembali ke rumah, tapi ia melihat Si Tua Ninika berbalik arah. Soso menunggunya mendekat.

“Ninika, sudah selesai panennya?” tanya Soso.

Lelaki itu mendelik, “Matamu picek! Apanya yang dipanen, kau lihat banyak salju begini. Musim tanam saja belum dimulai!”

Soso tertawa dalam hati. “Tuh kan, beneran, lama-lama aku ikutan edan…”

*****

BERSAMBUNG: (21) Bonia, Oh, Bonia...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun