Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (20) Si Tua Ninika

16 Desember 2020   08:08 Diperbarui: 17 Desember 2020   06:07 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
WPAP By Alip Yog Kunandar

Ninika menatapnya, bola matanya yang sudah memutih masih bisa menatapnya dengan tajam, “Matamu picek! Nggak liat jagung sudah ranum keemasan?” bentaknya.

Soso diam dan berhenti menjejeri langkahnya, “Bisa ikutan gila aku…” bathinnya.

Ninika kayanya sudah beneran tak waras seperti kata orang. Bukan tak waras seperti bapaknya yang kebanyakan mabok. Menurut cerita orang Ninika mulai gila sejak kehilangan ladangnya. Ia berutang banyak pada orang Rusia, dan ladangnya disita. Istrinya yang cantik kabur meninggalkannya sendirian, anak-anaknya dibawa serta. Ninika bukan satu-satunya petani yang kehilangan ladangnya. Banyak. Sebagian bahkan masih berutang saat tanahnya sudah disita sekalipun.

Ia ingat, sekitar tiga tahu yang lalu, saat usianya 14 tahunan, di alun-alun Gori orang ramai berkumpul. Katanya siang itu akan ada eksekusi tiga orang pencuri sapi. Menurut desas-desus, pentolan komplotan pencuri, Sandro Khubuluri, dan dua anak buahnya, kakak beradik Tato dan Shova Jioshvili akhirnya tertangkap, dan akan digantung hari itu. Orang-orang Gori, terutama orang miskin sudah tahu siapa mereka. Sandro dan kawan-kawan, adalah orang-orang seperti Ninika. Mereka kehilangan tanah dan hartanya. Karena masih berutang, mereka melarikan diri ke hutan, merampok orang-orang Rusia atau orang kaya Georgia yang dianggap tak peduli lagi pada sesamanya. Seperti kisah Robin Hood, mereka membagikan hasil rampasannya pada orang-orang yang membutuhkan. Banyak orang yang bersimpati pada mereka, termasuk juga polisi Gori yang asli Georgia. Makanya, lama sekali mereka tak tertangkap. Sampai akhirnya harus didatangkan tentara Tsar ke Gori untuk membantu menangkap mereka.

Soso yang baru pulang sekolah mengajak beberapa temannya untuk menonton. Tapi tak banyak yang mau ikut. Akhirnya ia hanya pergi bersama si Devo, Peta, dan satu lagi Grigory Razmaze alias si Gigi. Di jalan, si Devo ketemu bapaknya yang polisi itu dan disuruh pulang. Jadilah hanya Soso, Peta, dan si Gigi yang pergi ke alun-alun.

Alun-alun sudah bener-bener ramai. Di tengahnya sudah berdiri panggung dengan tiga tali gantungan. Seorang berpakaian pendeta memegang salib besar di samping tiga orang terpidana yang akan diakhiri hidupnya itu. Di sekelilingnya, polisi Gori mengawal terpidana dengan ogah-ogahan, seperti terpaksa, antara tidak tega dengan takut akan ancaman perintah atasan. Sementara tentara Tsar berbaris membentuk benteng persegi dua lapis mencegah penonton mendekat. Itu tidak biasa. Penggantungan penjahat --sekelas maling-- umumnya tak dijaga tentara. Tak ada juga jarak antara penonton dengan tiang gantungan. Tapi kali ini istimewa, bukan saja karena ‘buronan Gori nomor satu’ yang menjadi musuh orang Rusia itu yang akan digantung, tapi karena para penonton justru menentang hukuman gantung itu. Banyak penonton yang melemparkan benda-benda ke arah tentara Tsar, bukan pada terpidana seperti biasanya.

Soso dan dua temannya tak bisa masuk ke tengah lapangan, terlalu sesak. Tubuh kecilnya pasti akan terhimpit, dan ia takkan bisa menyaksikan eksekusinya. Karena itu mereka menuju tempat tinggi ke dekat perbukitan, sehingga mereka bisa menyaksikan persitiwa itu meski tidak terlalu jelas. Peta dan Gigi mengajak Soso naik ke sebuah pohon agar lebih jelas. Tapi Soso tertarik pada seorang lelaki muda yang tak dikenalnya, pasti bukan orang Gori. Lelaki itu, mungkin sepuluh tahun lebih tua darinya. Duduk di bawah sebuah pohon mengamati kerumunan orang di lapangan, lalu mencatat.

Soso membiarkan Peta dan Gigi naik duluan. Ia mendekati lelaki itu, mengintip catatannya, ternyata ia menulis dengan huruf Rusia. Soso tak bisa membacanya. Menyadari ada yang menyelinap di belakangnya, lelaki itu menoleh. “Apa yang kamu lihat?” tanyanya dengan bahasa Georgia yang aneh. Mungkin bener dugaan Soso, dia orang Rusia.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya Soso.

“Aku mencatat peristiwa…” jawabnya, ramah. “Namaku Alexei Maximovich Peshkov, kau boleh panggil aku Maxim. Aku seorang wartawan…”

Soso menatapnya masih dengan penuh kecurigaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun