Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (13) Sel di Asrama

9 Desember 2020   08:08 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:47 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiba-tiba pintu terbuka, wajah sangar Pak Dmitri terlihat, “Mana anjing yang menyalak barusan?” tanyanya.

Beberapa anak langsung menudingkan tangannya ke arah Sesa. Tanpa ampun lagi, tangan kekar Pak Dmitri –Soso kadang berpikir, jangan-jangan Pak Dmitri itu bekas pegulat, soalnya badannya kekar banget—langsung menyeretnya keluar kamar. Pintu ditutup. Dan sesaat kemudian terdengar jeritan tertahan si Sesa. Anak-anak seruangan saling pandang. Soso segera mengingatkan mereka, “Jangan cari masalah, ayo ke kapel!”

Anak-anak yang semuanya berusia di bawah Soso itu tak ada yang membantah. Siapa pula mau berurusan dengan Pak Dmitri!

Setelah itu, Si Sesa masih terlihat di kapel saat ibadah pagi. Tapi saat sarapan, ia tak tampak. Tau-tau, pas masuk kelas, anak itu sudah berdiri di pojok depan kelas dengan satu kaki terlipat dan tangan kanannya melingkar ke belakang kepala memegangi telinga kirinya. Dia disetrap. Anak-anak kelas A pada berbisik-bisik, ada juga yang mesam-mesem. Tapi langsung pada diam begitu Pak Subutov masuk. Soso, si ketua kelas, segera memimpin doa. Dan pelajaran yang disukai Soso pun dimulai; sejarah.

*****

Jam istirahat, Soso sebetulnya pengen mengunjungi dua tempat, kalau nggak mampir ke rumahnya Irena, ya mampir ke toko bukunya Pak Yedid. Ke rumah Irena sudah ia lakukan untuk pamer sekolahannya, tinggal ke tempatnya Pak Yedid yang belum. Soso ingin mengabarkan pada pria Yahudi itu kalau sekarang dia sudah sekolah. Tapi ia sudah kadung janji pada teman-temannya, Seva, Peta, dan Pepa untuk mengajaknya ke jalan-jalan ke Golovinsky Prospect. Mendengar omong-omongan itu pas makan siang, beberapa orang anak yang sekamar dengan Soso pengen gabung. Jadilah selain empat sekawan itu, tiga orang lainnya ikut, mereka adalah dua anak yang tadi berseteru dengan si Sesa, yakni si Jaba, Peter Gelovani alias si Gego, dan satu orang lagi Kakhaber Kavkasidze alias si Kaka.


Tiga anak itu ternyata berasal dari daerah yang sama dengan Soso, Shida Kartli. Tapi mereka bukan berasal dari Gori, tapi dari Tskhinvali, kota kecil di utara Gori. Kalau Gori saja sudah kayak kampung, apalagi Tskhinvali. Si Gego malah lebih ndeso lagi, kampungnya di Sveri.[1] Tapi dia paling makmur diantara anak-anak itu, karena bapaknya adalah juragan sayuran.

Begitu lonceng istirahat berdentang, ratusan calon pendeta itu menghambur layaknya Laron yang keluar di musim hujan. Semuanya berpakaian jubah putih panjang, pakaian seragam mereka. Hanya para guru dan pengawas saja yang memakai podrjaznik[2] berwarna hitam. Para siswa juga punya pakaian itu, tapi hanya dikenakan pada saat-saat tertentu yang berkaitan dengan peribadatan saja. Jadi, siapapun yang berada di luar lingkungan seminari, bisa dengan mudah membedakan mana siswa dan mana yang guru. Biasanya, para guru pengawas akan mendampingi anak-anak itu. Tapi karena jumlahnya tidak sebanding, anak-anak bisa berkeliaran dengan bebas, selama tidak membuat masalah dan kembali saat waktu istirahat habis. 

Soso dan kelima temannya langsung menuju kawasan Golovinsky, pusat perniagaan elit di Tiflis saat itu.  Yah, meski umumnya mereka anak-anak orang berada, tapi karena dari kampung, tetep aja norak kalau berada di kota besar seperti Tiflis itu. Si Gego yang paling norak. Ketika mereka sudah mulai masuk kawasan Golovinsky yang kiri kanan jalannya penuh dengan bangunan indah dan pertokoan mewah, matanya terus jelalatan melihat gadis-gadis --dari yang seumuran sampai yang dewasa-- yang pada berpakaian modis, sampai dua kali kebentok tiang lampu di trotoar jalan yang sebetulnya cukup lebar itu.

“Anjir, ceweknya kok bisa cakep-cakep ya di sini…” katanya dalam bahasa Georgia. Kalau sudah di luar kayak gitu, semuanya bisa kembali ke asal, ngobrol dengan bahasa masing-masing, jadi nggak kaku kayak di lingkungan seminari.

“Ya iyalah, namanya juga cewek-cewek Rusia, nggak kayak cewek-cewek Kartli yang katrok…” kata Soso yang pura-pura ‘biasa’ karena sudah lama tinggal di Tiflis, tapi matanya sesekali juga nyasar kalau beneran ada cewek yang bening.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun