Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (7) Buruh Pabrik Sepatu

3 Desember 2020   09:09 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:40 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perut Soso sebetulnya sudah keroncongan, tapi apa boleh buat, ia harus menunggu sampai makan malam seperti yang dikatakan Pak Sese. Karena tak punya pilihan lain, ia pun mulai memberesi barang-barang di ruangan sempit memanjang berukuran sekitar 3x4 meter itu. Ada sebuah jendela di ruangan itu, bukan jendela sebetulnya, karena tak lebih dari semacam ventilasi udara yang diberi kaca. Tingginya sekitar dua meter dari lantai. Cukup tinggi buat Soso yang hanya 160 cm.

Setelah barang-barang diberesi, kebanyakan adalah alat-alat pertukangan, ruangan itu sudah tampak cukup layak. Ada sebuah dipan kayu dengan gulungan kasur jerami yang tua dan lapuk. Kain pembungkusnya sudah banyak yang berlubang. Soso membersihkan dan menggelar kasurnya. Sebuah lampu minyak tampak dicantolkan di dinding, kaca bening yang membulat untuk penghalang apinya sudah pecah di bagian atasnya. Soso pun merebahkan tubuhnya di atas kasur dan mulai berpikir, “Tampaknya seseorang pernah tinggal di sini sebelumnya…” bathinnya.

*****

Malam tiba. Soso dipanggil masuk ke bangunan rumah utama. Makan malam sudah terhidang. Seorang perempuan tersenyum pada Soso dan mempersilakannya duduk. Pak Sese duduk di seberangnya. “Ini Imelda, istriku…” Pak Sese memperkenalkan perempuan itu, “Kalau kau senggang nanti, bantulah dia seperlunya…” lanjutnya.

“Makanlah dulu… nanti ngobrolnya…” kata istrinya.

Pak Sese lalu memimpin doa. Soso menjadi kikuk. Seingatnya, ia tak pernah punya tradisi makan malam bersama keluarga seperti itu. Ketika bapaknya masih di rumah, paling ia makan bersama Mak Keke, itupun tak di meja makan seperti ini. Setelah bapaknya minggat, jadwal makan makin tidak jelas.

Setelah makan malam sederhana –yang terlihat cukup mewah bagi Soso-- ala keluarga Georgia umumnya, puri, kacang, ayam, Pak Sese berkata pada Soso. “Besok kau harus bangun pagi. Kau mulai bekerja besok di tempat yang tadi itu. Bekerjalah yang rajin, siapa tahu nanti ada lowongan posisi. Sementara besok, kau kerjakan saja apa yang diminta orang-orang di sana. Sepulang bekerja, kau boleh belajar. Nanti kucarikan guru yang akan mengajarimu membaca, menulis dan berbahasa Rusia. Kau harus bisa berbahasa Rusia kalau mau sukses di sini. Apalagi katanya kau mau sekolah di seminari itu. Kudengar, tak ada yang bicara bahasa Georgia di sana…”

Soso mengangguk-angguk.

“Ya sudah, kembali ke kamarmu sana… nyalakan lampunya, mungkin harus diisi minyaknya dulu…” kata Pak Sese lagi. “Oh iya, ada peti kayu di bawah dipan. Bapakmu dulu menyimpan barang-barangnya di situ, baju-baju dan sebagainya. Entah masih bagus atau tidak. Pake saja yang ada, sesukamu…”

“Bapak?” tanya Soso.

 “Si Beso tidak pernah cerita apa-apa?” tanyanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun