Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Serial Noval] Sassy Violet

15 November 2019   08:49 Diperbarui: 15 November 2019   08:51 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: farmbos.com

Hari baru saja menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh menit, tapi suasana di luar sana sudah tampak terang benderang layaknya pukul tujuh pagi. Efek kemarau panjang ditambah Karawang yang hingga saat ini belum pernah diguyur hujan, membuat pagi datang lebih awal. Dan seperti biasa, sarapan ala orang Karawang pun telah tersedia di atas meja ruang tamu. Sepiring pisang rebus dan bala-bala goreng.

"A Noval tumben udah bangun?" sapa Bi Isah sambil meletakkan nampan yang di atasnya terdapat sebuah teko berisi teh tubruk, setoples gula pasir dan tiga buah cangkir. Setelah meletakkan itu semua di meja, Bi Isah kemudian beranjak membuka gorden dan jendela rumah.

Ah, malunya aku disapa begitu. Karena selama seminggu di sini, aku baru keluar kamar itu sekitar pukul enam pagi. Itu pun setelah ada yang membuka pintu depan dan terdengar obrolan di teras depan rumah. Tapi khusus hari ini, entah kenapa aku ingin sekali bangun pagi. Ya, sekadar menikmati suasana pagi di kampung halaman Papah ini.

"Bi, pintu depan boleh dibuka kan?" tanyaku kepada perempuan yang telah puluhan tahun dipercaya Aki Dahlan untuk mengurus rumah ini. Bi Isah hanya mengangguk tanda mengiyakan.
Dan baru saja hendak kubuka pintu tersebut...

"Meong...."

Terdengar suara kucing dari arah luar rumah.

"Bi, emang kalo pagi-pagi gini selalu ada kucing di teras depan ya?" tanyaku, heran. Karena setiap kali aku bergabung dan ikut sarapan bareng Mang Subur dan Bi Isah di teras depan rumah, tak pernah sekalipun ada kucing di sana.

Bi Isah mengernyitkan keningnya. Tampaknya perempuan paruh baya itu pun merasa heran. "Sok atuh dibuka aja pintunya, A. Kali aja ada kucing orang yang nyasar kemari."

Dan benar saja. Setelah pintu depan kubuka, tampaklah seekor kucing persia peaknose dengan bulu lebat berwarna abu-abu putih. Di lehernya terpasang sebuah kalung rantai bertuliskan nama "Sassy".

"Oh, nama kamu Sassy ya," ujarku seraya menggendong kucing yang dilihat dari perawakannya itu pastilah milik seseorang yang tengah 'main' ke sini. "Rumah kamu di mana, Sayang? Udah minta izin main ke sini belum?"

Melihatku mengajak ngomong kucing tak bertuan yang ada di teras rumah, Bi Isah pun hanya geleng-geleng kepala saja. Dia tak banyak komentar dan segera berlalu kembali ke habitatnya, ups, ke dapur maksudnya.

Sassy tampak tenang berada di pangkuanku. Kucing secantik dan sebersih ini rasanya tidak mungkin tak bertuan. Tak mungkin pula sampai dibuang oleh pemiliknya. Yang pasti dia tak sengaja kabur keluar rumah saat si tuan lengah tak menutup pintu rumah dan juga pagarnya.

"Aduh, Syantiek. Ongkel Noval gak punya dry food buat kamu nih, gimana dong? Kalo kamu dikasih makan ikan aja dibolehin gak ya ama tuanmu?"

Lagi asyik bercakap-cakap dengan si Cantik Sassy, dari arah rumah depan datanglah seorang anak laki-laki bertubuh bongsor yang tak lain adalah Akbar, cucunya Mak Icih, yang beberapa hari lalu sempat membuat geger desa ini dengan aksi skateboard-nya. Ups. Tapi bukan Akbar yang bikin heboh itu, melainkan sang nenek, Mak Icih. Hehehe.

"Wah, keren. Om Noval punya kucing euy sekarang. Kucingnya cantik, Om. Kucing jenis apa ini namanya, Om? Kayaknya bukan kucing kampung deh. Abis, bulunya lebat gitu. Kucing anggora ya, Om?" Bagaikan peluru yang ditembakkan dari senjatanya, Akbar begitu gentar menghadiahiku beragam pertanyaan.

"Hush, ngaco. Ini namanya kucing persia peaknose, tau. Tuh, lihat aja hidungnya yang pesek yang nyaris sejajar ama matanya." Kucoba memberi penjelasan kepada anak kelas 5 SD ini. Akbar hanya mengangguk-angguk saja. Entah mengerti atau tidak tuh bocah.

"Akbar boleh ikutan gendong gak, Om? Pliiisss...!" Dengan tampang memelas, dia mencoba merayuku untuk memperbolehkannya memegang Sassy. Tapi sayang, Sassy menolak. Hampir saja Akbar terkena cakaran maut dari Sassy. 

"Ih, kucingnya nakal. Suka nyakar. Sebel deh!"

Usai berkata begitu, dengan tampang cemberut, akhirnya Akbar pun pulang ke rumahnya. 

Dan entah siapa yang mulai menyebarkan berita ini, tiba-tiba saja hampir setiap hari, khususnya di sore hari, ada begitu banyak anak kecil yang bertandang ke rumah mendiang Aki ini sekadar untuk melihat Sassy, kucing persia peaknose yang cantik sekali.

***

"Assalamualaikum...."

Ini adalah hari ketiga sejak Sassy berada di rumah Aki. Dan aku sudah bisa menebak siapa yang bertamu sore-sore begini.

"Wa'alaikum salam. Ya, tunggu sebentar," jawabku. Segera kulepaskan sarung dan peci yang tadi kupakai untuk sholat ashar. Kemudian bergegas ke pintu depan. Kebetulan, Bi Isah dan Mah Subur lagi pergi ke kondangan di desa lain. Jadi sore ini hanya aku saja yang ada di dalam rumah.

Saat pintu depan kubuka...

Alamak! Siapakah bidadari surga yang berdiri di depan pintu ini? Wajahnya cantik alami, tanpa polesan make-up. Matanya yang agak sipit dengan hidung mungil plus wajah ovalnya, ya Tuhan, betapa sempurnanya makhluk ciptaanMu ini. Apalagi ditambah dengan jilbab yang menutupi kepala dan dadanya, rasa-rasanya aku ingin segera mempersunting bidadari ini.

"Permisi. Ini benar dengan A Noval?"

Oh, Tuhan, bidadari itu menyapaku. Segera saja kucubit lengan kiriku. Aow. Aku sedikit meringis. Berarti ini bukan mimpi kan?

"Hallo...," Tangan si bidadari yang bersih dan berwarna kuning kecokelatan melambai-lambai di depan wajahku, membuatku tersadar.

"Eh, iya. Mo cari siapa , Teh? Kebetulan Bi Isah dan Mang Subur lagi kondangan di desa sebelah. Kalo gak keberatan, Teteh bisa menunggu di sini."

Kening bidadari di depanku sedikit berkerut. "Maaf, A. Saya bukan mencari Mang Subur maupun Bi Isah, tapi saya mencari A Noval. Aa ini A Noval bukan?" Telunjuk kanan si bidadari mengarah ke aku. Dan aku bisa apa? Duh, baru kali ini aku mengalaminya lagi pasca kepergian Lidya lima tahun silam.

"Oya, saya Noval. Saya ini cucunya Aki Dahlan, pemilik asli rumah ini. Kebetulan saya lagi ambil cuti dan liburan dimari. Neng saha namina? Tahu nama saya dari mana ya?" Dengan pedenya, aku memperkenalkan diri kepada sang bidadari. Yang kemudian hanya ditanggapi dengan senyuman yang memperlihatkan lesung di pipi kanannya. "Oya, silakan duduk dulu atuh. Masa dari tadi kita ngobrol sambil berdiri aja."

Si bidadari pun akhirnya memilih duduk di kursi teras paling kiri. Kemudian lanjutnya, "Punten nya, A. Saya mo tanya. Tiga hari yang lalu, apa ada seekor kucing persia peaknose betina berwarna abu-abu putih nyasar kemari?"

Ini yang dimaksud si bidadari itu Sassy kah?

"Yang di lehernya ada kalung rantai bertuliskan nama 'Sassy'. Benar begitu?"

"Yup. Benar banget, A. Itu kucing saya. Sekarang, Sassy nya di mana ya?" Wajah si bidadari tampak panik. Kepalanya berputar-putar mencari kucingnya yang hilang itu. Tapi belum sempat kuambilkan Sassy yang tadi sedang tidur siang di kamarku, tiba-tiba saja...

"Meong..."

Ah, si kucing persia peaknose itupun sudah nongol di teras depan. Mungkin saat tidur tadi dia sayup-sayup mendengar suara tuannya. Sehingga dia akhirnya terbangun dan berlari ke teras depan.

"Sassy...." Segera saja si bidadari menggendong Sassy dalam pelukannya. Menciuminya berulangkali, menguwel-uwel badannya, seolah telah berabad-abad lamanya tak berjumpa dengan si kucing bandel yang suka kabur ini.

"Benar itu kucing Teteh?" tanyaku setelah mampu mengendalikan diri. Aih, si bidadari tersenyum lagi. Sungguh, Tuhan. Senyumnya itu membuat lumer hatiku.

"Iya, A. Makasih ya, udah mau direpotkan oleh Sassy."

"Ah, gak kok. Sama sekali gak repot. Cuma..." Aku terdiam sejenak. Membuat penasaran si bidadari.

"Cuma apa, A?"

"Hm... Sassy itu kok sukanya bobo di bawah payung ya?" tanyaku, penasaran.

"Payung ungu tepatnya, A. Payung warna lain dia gak suka."

"Oya, payung ungu. Kebetulan itu kepunyaan Bi Isah. Pas Sassy melihat payung itu langsung aja dia loncat dan menjatuhkan payung itu. Dan saat saya kembangkan, Sassy pun langsung ambil ancang-ancang dan tidur deh di bawah payung ungu."

"Hahaha... Emang seperti itulah Sassy." Kali ini si bidadari tertawa lepas. Deretan gigi putih rapihnya terlihat jelas. Menambah manis penampilan wajahnya. "Kebetulan ungu itu warna kesukaan saya. Jadi, Sassy ikutan suka. Oya, nama saya Violet. Panggil aja Vio." Tangan kanannya terulur, mengajakku berkenalan. Dan kemudian kusambut hangat awal pertemuanku dengan bidadari mojang Karawang.

Bagaimana kelanjutan hubunganku dengan Violet atau Vio? Entahlah. Itu mah rahasia Illahi. Yang pasti aku jadi makin cinta sama Karawang dan enggan rasanya meninggalkan desa ini bila saja tak ingat akan tanggung jawab dan masa depanku di tanah Batavia. 

Well, Sassy Violet. Nama kucing dan pemiliknya ini akan selalu abadi di dalam hatiku.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun